Budidaya Lobster di Era Pandemi

SISIBAIK.ID – Setiap hari, Lalu Fahrudin, 38 tahun, harus mengurus 2.500 mulut yang menganga. Sedikitnya tiga hingga lima bak ikan rucah, yakni ikan-ikan kecil hasil tangkapan nelayan yang tak laku di pasar, harus diumpankan ke mulut-mulut lapar itu. Artinya, ia harus mengeluarkan biaya Rp300–Rp500 ribu per hari. “Bisa saja harganya besok bergerak naik, karena ikan itu musiman,” ujarnya.

Lalu Fahrudin adalah nelayan sekaligus pembudidaya lobster. Ia memiliki dua unit keramba jala apung. Di sana ada 26 lubang petak jaring ukuran 3×3 m. Kedalaman kolam tiga meter. Bangunan keramba itu ada di satu teluk sedalam 8–10 meter di Dusun Ujung Belo, Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Sebanyak 25 dari 26 petak kolamnya itu kini terisi lobster dewasa, jenis mutiara dan pasir. Sebuah lubang dia sisakan untuk cadangan kalau ada yang robek. Setiap lubang rata-rata berisi 100 ekor. Jadi, kini ia memiliki sekitar 2.500 ekor lobster yang sudah memasuki ukuran konsumsi. Berat totalnya tidak kurang dari 500 kg.

Namun, Lalu masih ragu memanennya. “Harganya sedang ambruk,” katanya kepada Indonesia.go.id, Selasa (4/8/2020). Di tingkat pembudidaya, lobster pasir hanya dihargai Rp190–200 ribu, dan lobster mutiara hanya Rp20 ribu lebih tinggi. Dalam kalkulasinya, ia rugi dengan harga itu. Selain harus menyediakan pakan 3–5 bak (54–90 kg) per hari, ia juga membayar dua orang pembantu.

Bila harus dijual saat ini juga, Lalu Fahrudin hanya akan menerima sekitar Rp100 juta. Jauh dari target yang ia patok di sekitar Rp175–Rp200 juta. Dari para pedagang pengumpul, Lalu mendengar, pandemi Covid-19 menjadi biang keroknya. Permintaan impor menyusut konsumsi domestik merosot.

Pilihannya, ia akan pertahankan sampai dua bulan ke depan, setelah wisata Bali dan Lombok bisa kembali ramai. Tapi, ia pun masih harus berjudi dengan pengeluaran senilai Rp300–500 ribu per hari.

Lalu Fahrudin sendiri sudah menekuni bisnis budi daya lobster sejak 2009. Dari budi daya itu, ayah dari  tiga anak  tersebut telah memiliki sebuah rumah tembok yang cukup lumayan untuk ukuran lingkungannya. Namun, usahanya menjadi sulit dan tak berketentuan saat pemerintah pusat melarang  penangkapan benur dan memprioritaskan penangkapan lobster dewasa sejak 2016. Ia kesulitan membeli benur, dan merasa khawatir bila usahanya dianggap melanggar hukum.

Daripada pusing, ia menjual kerambanya, dan terbang ke Malaysia menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Dua tahun di rantau, pada 2019 dia pulang  dengan membawa sisa tabungan, dari yang dia sisihkan setelah upahnya sebagian dikirim untuk anak istrinya di kampung halaman dan sebagian lainnya untuk biaya hidupnya di Malaysia, sebesar  Rp60 juta.

Suasana Pemilu 2019 membuat  pembatasan budi daya lobster lebih longgar. Lalu Fachrudin membeli sampan dengan motor tempel 5,5 PK dan membangun keramba dengan 12 lubang. Ia pun mengisinya dengan bibit lobster ukuran sejempol tangan dengan berat 50 gram, yang harganya antara Rp15–20 ribu per ekor. Menjelang akhir tahun lalu, ia bisa menjual lebih dari 200 kg lobster. Sekitar Rp70 juta ia kantongi. Harganya antara Rp300–400 ribu per kg.

Melihat gelagat bahwa pemerintah akan mengizinkan penangkapan benur untuk budi daya, Fahruddin pun meminjam modal ke Bank BRI Rp50 juta dan membangun keramba tambahan dengan 14 petak. Ia membeli bibit ukuran 50 gram yang pada Januari lalu harganya sudah menjadi Rp20 ribu/ekor karena musim benur surut. Populasi bibit lobster ini meruah pada Maret hingga November. Dia mengisi 25 unit kolam jaringnya masing-masing dengan 100 ekor bibit.

Harapannya sempat terbang tinggi. Dia membayangkan mendapat harga tinggi saat mulai memanen lobsternya per Agustus ini, setelah enam bulan merawat dan lobsternya sudah mencapai berat rata-rata 200 gram. Namun, dia harus menghadapi kenyataan pahit. Harganya jatuh.

Toh, Lalu Fakhrudin tak putus harapan. Ia masih menunggu satu bulan ke depan ketika wisata Lombok dan Bali kembali dibuka, sehingga lobsternya dapat diserap pasar lokal. Dia juga berharap pasar ekspor kembali menguat.

Dampak Pandemi

Dr Bayu Priyambodo, peneliti lobster di Balai Perikanan Budi Daya Laut (BPBL) Lombok, unit pelaksana teknis dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), mengakui bahwa pasar lobster sedang merosot. “Bukan hanya lobster. Kerapu dan Baronang juga mengalami situasi serupa,” kata Bayu, yang selama 20 tahun mendampingi warga pesisir di Nusa Tenggara Barat (NTB) mengembangkan budi daya laut itu.

Pangkalnya, menurut  Bayu, pandemi Covid-19. Selain membuat rantai pasok tersendat, pandemi telah  membuat  daya beli masyarakat dunia melemah. Buntutnya, hidangan mahal seperti lobster, baronang, dan kerapu, permintaan turun dan harga merosot.

Rentetannya harga benur yang juga turun. Benur muda yang berukuran 2,5 cm (ada yang menyebutnya bening) untuk ekspor ke Vietnam hanya dihargai USD0,86 per ekor (Rp12.000 per ekor). Itu termasuk Rp5.000 untuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP), semacam royalti.

“Jadi di tingkat nelayan, ya harganya pasti di bawah Rp7.000 per ekor,” kata Bayu, yang meraih gelar doktor di bidang budi daya lobster dari University of New South Wales, Sydney, Australia.

Pasar lobster di Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura, sepi. Permintaan merosot. Kementerian Industri Primer Selandia Baru dalam  rilis pertengahan Juli lalu menyatakan, ekspor kepiting dan lobster ke Tiongkok dan Hong Kong merosot sampai 82 persen. Ekspor ikan kakap dan salmon juga turun sampai 78 persen.

Pada saat yang sama, ekspor salmon dan ikan kakap Selandia Baru ke Australia dan Amerika Serikat pun terpangkas 40% dan 50%. Di Hong Kong, pada akhir Juni lalu, harga lobster turun 38% dibandingkan harga Juni 2019, dan permintaan pun menyusut. Hal itu akibat banyak restoran yang masih tutup atau mengurangi jam layanannya.

Kegairahan Baru

Nelayan dan pembudidaya lobster di Lombok juga mengalami hal serupa. Pasar ekspor menciut. Situasi itu tak terbayangkan ketika pada akhir 2019 banyak nelayan Lombok membangun atau menghidupkan kembali kerambanya. Saat ini, menurut Bayu Priyambodo, setidaknya ada sekitar 6.750 unit petak (lubang) kolam di Lombok dan Sumbawa. “Hampir semua diusahakan nelayan pembudidaya,” kata Bayu. Korporasi belum banyak terlihat, karena mereka baru mendapatkan izin Mei lalu.

Menurut Bayu, budi daya lobster itu mahal. Secara rata-rata 100 ekor lobster (berat total 20 kg), untuk satu lubang  keramba, milik Fahrudin, misalnya, perlu pakan 400 kg (setara 20 kali  berat biomassanya) selama enam bulan ini. Kalau harga ikan rucah per kg Rp7.000, maka perlu biaya Rp2,8 juta per petak, atau Rp70 juta untuk seluruh keramba—dengan berskala seperti milik Fahrudin. Belum ongkos tenaga kerja dan pengembalian investasi. Oleh karenanya, Bayu bisa paham bila Lalu Fahrudin meradang lantaran dibayangi kerugian.

Namun, Lalu Fahrudin tak mau menyerah begitu saja. Ia berharap bahwa situasi normal baru di Bali dan Lombok dapat mengangkat harga lobster budi dayanya. Ia akan mencoba terus bertahan sambil melihat perkembangan dalam beberapa bulan ke depan.

Hari-harinya tetap akan diisi kerja keras. Selepas Subuh, ia membawa perahunya melaut dengan jaring insang sepanjang 150 meter. Hasil tangkapannya, paling tidak bisa untuk kebutuhannya hari itu, plus bonus ikan rubah yang bisa mencapai satu bak.

Bayu Priyambodo  berharap, pandemi Covid-19 jangan membuat nelayan pembudidaya patah arang. Ia meyakini bahwa alam Lombok-Sumbawa amat potensial untuk budi daya lobster, dengan teluk-teluk yang terlindung dari ombak dan angin, tapi arus airnya deras mengalir.  

Dia menyambut gembira cerita Lalu Fahrudin yang menyebut produksi lobster di kerambanya per petak (3×3 m) bisa mencapai 20 kg per musim. Hasil itu jauh di atas rata-rata produksi nelayan Lombok yang baru sekitar 10–12,5 kg. Namun, kata Bayu, produksi pembudidaya Vietnam mencapai 35 kg per petak.

“Lobster itu semakin banyak makan, semakin baik,” kata Lalu Fahrudin. Bagi Bayu, celetukan Fahrudin itu pekerjaan rumah. “Kita memang perlu mengembangkan pelet bagi lobster. Agar budi dayanya lebih efisien,” katanya.