Jokowi Memilih Calon Kapolri

“Seorang pemimpin adalah orang yang mengetahui jalan, melewati jalan tersebut, dan menunjukkan jalan itu untuk orang lain.” – John C. Mazwell

DR. Pieter C. Zulkifli

Ada ketidakharmonisan dalam mekanisme suksesi Kepala Kepolisian RI. Kasak-kusuk, intrik, dan saling jegal yang gaduh jelang pergantian pemimpin Kepolisian ini menunjukkan ketidaknormalan itu.

Pemilihan Kapolri kali ini juga terasa politis. Beberapa kolega mengatakan, pencalonan Kapolri tahun 2021 tak ubahnya pemilu kepala daerah. Calon Kapolri terasa mempunyai tim sukses masing-masing. Hal itu tampak dengan begitu banyaknya ”berita” di dunia virtual yang terkesan menjagokan kandidat masing-masing dan mengungkap kelemahan yang lain. Berbagai spekulasi pun beredar.

Bahkan, isu SARA makin panas, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, 51 tahun, sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Ia akan menggantikan Jenderal Idham Azis, yang pensiun pada 1 Februari sejak menjabat pada 1 November 2019.

Listyo Sigit Prabowo, Jenderal Nasrani Kedua yang ditunjuk jadi Kapolri. Begitu sebuah judul berita di laman fajar.co.id. Judul berita yang harus repot-repot menyebut agama sang kandidat Kapolri seakan menunjukkan identitas lebih penting daripada kualitas. Sebelumnya, beredar di berbagai grup aplikasi pertukaran pesan nama-nama jenderal polisi beragama nasrani. 

Perkembangan seperti itu jelas tidak sehat bagi konsolidasi internal di kepolisian. Kompetisi antarkandidat bisa dirasakan dan kadang berpengaruh pada penanganan sejumlah kasus. Tarik-menarik terjadi dan hal tersebut berimbas pada penanganan kasus.

Di masa Orde Baru tidak ada yang berani membicarakan agama pejabat secara terbuka. Orang membicarakan agama pejabat diam-diam. Orang bisa dituduh subversif bila membicarakan agama pejabat secara terbuka. 

Mempersoalkan identitas mulai terjadi pada Pemilu Presiden 2014. Dibuat hoaks bahwa calon presiden Joko Widodo beragama nasrani keturunan Tionghoa Singapura. Di baliknya terkandung pesan untuk tidak memilih atau menolak Jokowi sebagai presiden karena dia nasrani dan Tionghoa.

Berawal dari situ kita seperti dipaksa ‘terbiasa’ mempersoalkan identitas pejabat atau calon pejabat. Penolakan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, Nico Afinta sebagai Kapolda Jatim, dan Listyo Sigit sebagai Kapolda Banten terjadi pasca-Pilpres 2014. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

Ketidakberesan ini menghalangi peluang terpilihnya pemimpin berkualitas di negeri ini. Dalam konteks sekarang adalah terpilihnya pemimpin paling berkualitas di Markas Besar Kepolisian. Berbeda dengan menteri, kepala Polri – seperti Panglima Tentara Nasional Indonesia,  bukanlah pejabat yang ditunjuk secara politik (pilitical appointe). Undang-undang kepolisian menyebutkan bahwa calon kapolri adalah perwira tinggi aktif yang diangkat dengan mempertimbangkan faktor jenjang kepangkatan dan karier. 

Kini, Presiden Jokowi telah menetapkan calon tunggal Kapolri. Pastilah menunjuknya bukan karena identitas agamanya, melainkan karena kualitas kinerjanya. Pun, Presiden sudah memikirkan aspek proporsionalitasnya.

Keputusan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Presiden Jokowi adalah seorang Pancasilais sejati. Politik kepentingan di pusat yang terlalu keras dan sikap para elite yang pura-pura loyal, namun Presiden Jokowi dengan sikapnya yang bersahaja mampu mengendalikan narasi sandiwara mereka. Jokowi bukan sosok yang mudah didikte oleh kekuatan tertentu dan kepentingan tertentu.

Bila dicermati, sikap dan kepemimpinan Presiden Jokowi sesungguhnya sedang menyindir para elite dan oknum pejabat yang selama ini lebih senang membuat kebijakan dan kesepakatan di belakang meja daripada nilai-nilai luhur yang harusnya menjadi landasan untuk menilai dan membuat kebijakan berdasarkan fakta dan kebutuhan. Presiden Jokowi telah mencium bahwa selama ini pemilihan Kapolri, KSAD, KSAL, KSAU lebih banyak campur tangan pihak-pihak yang memiliki kepentingan bisnis dan skenario bisnis politik.

Sebuah kalimat bijak ditulis John C. Mazwell, seorang pendeta, pembicara, dan seorang penulis Amerika yang telah banyak buku terutama tentang kepemimpinan: “Seorang pemimpin adalah orang yang mengetahui jalan, melewati jalan tersebut, dan menunjukkan jalan itu untuk orang lain.”

Dan pada akhirnya, kita harus menghormati pilihan presiden karena mengangkat kapolri adalah hak prerogatif presiden dengan persetujuan DPR. Itulah demokrasi.  Teriring harapan besar bagi Kapolri baru agar mampu membawa Polri lebih baik lagi, terutama di tengah situasi yang penuh tantangan dengan adanya pandemi Covid-19. Kapolri terpilih harus mampu membawa Polri dengan profesional, modern, dan terpercaya, untuk mencegah dan menangani gangguan keamanan di Indonesia.

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Kota Malang, Jawa Timur.

Sumber: pietercz.id