Menghukum Mati Pelaku Korupsi

Adil ialah menimbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak yang empunya dan jangan berlaku zalim di atasnya. Berani menegakkan keadilan, walau mengenai diri sendiri, adalah puncak segala keberanian. (Buya Hamka)

Dr. Pieter C. Zulkifli, SH, MH.

SISIBAIK.ID – Wacana hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi kembali menghangat. Kali ini datang dari Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej, terkait dengan kasus korupsi yang melibatkan dua mantan menteri di Kabinet Indonesia Maju. Tegas Edward mengatakan, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara layak untuk dituntut dengan ancaman hukuman mati karena melakukan praktik korupsi di tengah pandemi Covid-19.

Di negeri ini, praktik korupsi bagaikan penyakit ganas yang menggerogoti seluruh sendi kehidupan. Korupsi telah membelit dan melilit sekujur tubuh Ibu Pertiwi. Sekalipun telah dilakukan berbagai upaya untuk menghentikan dan sekaligus mengurangi lajunya, belum terlihat tanda-tanda praktik korupsi berkurang.  Padahal, menilik perjalanan waktu, pemberantasan korupsi telah menjadi agenda prioritas selama hampir dua dekade terakhir. Tak sebatas prioritas, pemberantasan korupsi pun dilakukan secara luar biasa (extraordinary).

Fakta empirik membuktikan, sejumlah skandal korupsi yang terkuak di lingkungan pemerintah hanya memiliki daya kejut dalam waktu terbatas. Seperti terjebak dalam sebuah pola: sebuah skandal segera menguap begitu skandal baru terkuak.

Terbongkarnya skandal korupsi nyaris tak pernah menjadi momentum melakukan perubahan secara total. Biasanya, ketika pelaku yang bernasib sial dihukum, upaya untuk mengungkap jejaringnya tidak pernah dilakukan dengan serius. Padahal jamak dipahami bahwa korupsi, apalagi yang masuk kategori skandal, tidak mungkin dijalankan pelaku secara tunggal.

Berbicara soal korupsi dana bantuan bencana, sepanjang 2004 hingga 2018 setidaknya telah terjadi 11 kasus. Pertanyaannya, mengapa hingga saat ini belum pernah ada koruptor dana bencana yang divonis mati? Ada dua faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Pertama, soal penafsiran pasal. Kedua, keberanian penegak hukum.

Selain dua faktor tersebut, penjatuhan pidana rendah terhadap terpidana korupsi diikuti dengan kemudahan lain yang dinikmati, seperti kesempatan untuk mendapatkan remisi, membuat pelaku korupsi tak takut mendekam di balik penjara. Bahkan, berkaca dari sejumlah kasus, dengan kemampuan keuangan yang dimiliki terpidana korupsi, sebagian di antara terpidana begitu mudah menikmati segala macam kemewahan, termasuk mangkir dari rumah tahanan.

Yang makin membuat miris, bekas narapidana korupsi diberi ruang untuk ikut kontestasi politik begitu selesai menjalani masa hukuman. Dengan aturan itu, sebagian mereka yang pernah dipidana kasus korupsi akan dengan mudah mengikuti kontestasi politik. Jalan mudah berkiprah kembali di panggung politik ini meruntuhkan misi politik menempatkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa.

Ibarat bangunan, penegakan hukum di Indonesia sudah mengalami kerusakan sangat parah. Tak salah bila kepercayaan masyarakat terhadap aparat dan institusi penegak hukum pun sudah mencapai titik terendah akibat perilaku tak terpuji banyak oknum penegak hukum. Sudah banyak contoh kasus menggambarkan kerusakan parah kualitas penegakan hukum itu. Bahkan masyarakat mencatat bahwa  sektor penegakan hukum tak henti-hentinya diguncang skandal. 

Banyak oknum penegak hukum justru menjadi bagian tak terpisah dari praktik mafia hukum dan mafia peradilan. Oknum polisi, oknum jaksa, oknum panitera hingga oknum hakim serta oknum pejabat tinggi di Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstusi (MK) telah merusak kualitas penegakan hukum.

Kasus Djoko Candra yang menjadi buronan hampir 12 tahun atas kasus hak tagih Bank Bali adalah bukti bahwa banyak aparat lintas institusi dan pejabat tinggi negara menjadi bagian dari jaringan mafia hukum/peradilan. Kuatnya konspirasi, kolusi mafia hukum/peradilan yang melibatkan oknum-oknum di berbagai lini merupakan fakta bahwa mereka telah terang-terangan melawan Negara dan Presiden RI. Tak mungkin seorang Jaksa Pinangki berani melakukan manuver sedemikian berani tanpa “permisi” kepada atasannya yang hingga detik tak tersentuh hukum.

Sekali lagi, Negara harus serius membersihkan oknum-oknum yang terlibat dalam praktik mafia hukum dengan memberi hukuman berat bahkan menyita semua aset-aset para oknum tersebut. Kalau tidak, Negara ini terkesan tidak serius atau bermain-main dalam memberantas korupsi. Akhir kata, menghentikan laju praktik koruptif akan selalu jadi pekerjaan yang membutuhkan komitmen dan perjuangan panjang nan melelahkan. Hanya orang-orang hebat, orang-orang berjiwa patriotik, dan orang-orang yang tulus ikhlas mengabdikan dirinya untuk kebaikan bangsa dan negara yang mampu melakukannya. Itukah Anda?

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, SH, MH. Pengamat Kebijakan Publik, Tinggal di Kota Malang.

Sumber: https://pietercz.id/index.php/2021/03/03/menghukum-mati-pelaku-korupsi/