Membangun Etika Negara Demokrasi

DR. Pieter C. Zulkifli

Hukum tidak boleh tunduk dan patuh pada kekuasaan politik. Kekuasaan politiklah yang harus tunduk dan patuh pada hukum. Ini adalah sikap dasar hidup bernegara yang benar.

KEKUASAAN harus digapai dan dipertahankan, meski harus membuang bab etika ke tong sampah. Demikian filsuf era Renaisans, Nicollo Machiavelli, berujar dalam salah satu adikaryanya, Il Principe (Sang Pangeran). Meski terdengar begitu miris, tapi feomena itulah yang terjadi hingga abad milenial sekarang.

Mengambil contoh kancah perpolitikan di Tanah Air, di tingkat nasional hingga di tingkat daerah, masih banyak ditemukan praktik tidak bermoral yang dilakukan para elite. Kita bisa melihat begitu banyak Bupati, Walikota, Gubernur, bahkan Menteri menjadi tersangka korupsi, kemudian menjadi penghuni rutan. Demikian pula dengan anggota DPR/D baik yang masih bertugas maupun yang purna tugas.

Immanuel Kant, seorang filosof Jerman menggambarkan sifat orang-orang yang terjun dalam dunia politik dengan dua watak binatang, yaitu merpati dan ular. Merpati digunakan sebagai gambaran politisi yang memiliki watak dan sikap yang lembut serta penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Sedangkan ular merupakan gambaran bagi politisi yang licik dan jahat, serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Dua sifat ini tak jarang bersemayam dalam tubuh satu orang politisi. Dan apesnya, justru sifat ular yang lebih dominan.

Idealnya, tidak ada politik tanpa meninggikan etika. Etika politik ialah prinsip moral tentang baik-buruk dalam tindakan atau perilaku berpolitik dan bernegara. Dalam pengertian lain, etika merupakan landasan dari keseluruhan proses politik untuk mengejawantahkan ideologi negara yang luhur ke dalam realitas masyarakat.

Akibatnya akan fatal bila politik dibiarkan berjalan dengan menihilkan etika. Keadaban dan kesantunan menghilang, diganti keberingasan demi sekadar menggapai kemenangan. Politik tak lagi memiliki dimensi untuk menyejahterakan rakyat karena hanya dimaknai sempit demi memenangi kekuasaan. Politik diselewengkan dengan membenarkan segala cara untuk mencapai tujuan.

Romo Franz Magniz Suseno pernah menuliskan, sebagai anak bangsa, kita perlu mengingatkan para politikus yang berkuasa bahwa kekuasaan yang berdasarkan pada kebrutalan dan kelicikan dengan sendirinya akan rapuh. Praktik-praktik politik tanpa etika akan menghasilkan generasi yang akan meniru cara politik segala cara. Kekuasaan yang direbut dengan segala cara, akan jatuh dengan segala cara. Bila hal ini diteruskan, akan menjadi kultur “politik segala cara” yang berbahaya bagi kehidupan berbangsa.

Tentu kita semua masih menyimpan harapan dan optimisme bahwa politik di Indonesia makin beretika sekaligus dewasa. Semua elemen bangsa ini mesti bergerak bersama mewujudkan politik yang santun, bermartabat, dan menjunjung tinggi keberadaban.

Pada akhirnya, prestasi demokrasi di sebuah negara hanya dapat diwujudkan bila mampu membangun politik, hukum, dan ekonomi yang bermartabat. Dan hukum tidak boleh patuh dan tunduk pada kekuasaan politik.

Demokrasi tanpa pendidikan politik yang baik dan benar akan menjadi sangat berbahaya. Suara rakyat hanya akan menjadi dogma mematikan yang tidak bisa dikendalikan oleh sistem dan kepemimpinan. Di luar itu, etika menjadi sangat penting dan harus dijadikan landasan untuk saling menghargai satu sama lain. Kebiasaan saling mencaci dan menghakimi tidak akan pernah menghasilkan pekerjaan terhormat untuk rakyat.

Di sisi lain, menerapkan disiplin moral agar para elite tetap berperilaku etis dalam aktivitas perlu dilakukan. Rakyat kita merindukan politisi yang bermoral tinggi, jujur, sopan dan lembut dalam bertingkah laku, sehingga dapat dipanuti, diikuti, diteladani, serta dihormati dan mampu menjalankan perintah Ilahi.

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, pengamat kebijakan publik, tinggal di Kota Malang, Jawa Timur

Sumber: pietercz.id