Hukum Milik Para Tuan

Hukum seringkali menjadi topeng bagi mereka yang berpunya dan menjadikan rakyat jelata sebagai pelengkap derita.

SISIBAIK.ID – Seorang filsuf Inggris, Jeremy Bentham pernah berkata “the aim of law is the greatest happines for the greatest number“. Hakikatnya hukum itu untuk kebahagiaan sebanyak-banyaknya orang. Sehingga untuk tercapai tujuan tersebut diperlukan peran pengadilan, penegak hukum, sarana, masyarakat, dan budaya.

Dr. Pieter C. Zulkifli, SH, MH
Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH, MH.

Lawrence M. Friedman dalam bukunya Law and Society menuliskan, efektivitas suatu peraturan perundang-undangan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan kultur (budaya hukum masyarakat).

Namun realitas yang terjadi di negeri ini, hukum cenderung melihat siapa yang diadili. Hukum menjadi tumpul kepada kaum elite tetapi sangat mudahnya menjangkau kaum bawah. Kondisi ini seakan mempertegas hipotesa Prof. Soerjono Soekanto dalam bukunya Pokok-Pokok Sosiologi Hukum yang menyebutkan: “Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya. Sebaliknya semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin banyak hukum yang mengaturnya.”

Meski era reformasi telah bergulir lebih dari dua dasawarsa, rasanya masih sangat sulit menembus benteng yang “melindungi” mereka yang punya jabatan, harta, dan kuasa, tapi terlalu mudah menggencet wong cilik dengan palu vonis. Rakyat tidak lagi mampu menangkap nilai-nilai keadilan dalam penegakan hukum.

Hukum telah diletakkan sebagai topeng bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Yang berkepentingan ini biasanya mereka yang punya nama, jabatan, dan status. Tindakan-tindakan behind the scene yang mereka lakukan, dan biasanya melawan rasa keadilan, harus ditutupi sedemikian rupa sehingga mata publik tidak mampu melihatnya. Hukum seringkali menjadi topeng bagi mereka yang berpunya dan menjadikan rakyat jelata sebagai pelengkap derita.

Hukum juga dijadikan sebagai benteng pelindung bagi mereka yang telah menjungkirbalikkan keadilan. Konsep hukum yang seharusnya membawa keadilan bagi semua, telah diletakkan sebagai tameng untuk menghindarkan seseorang dari pertanggungjawabannya dalam mengambil pilihan dan tindakan yang merusak kesejahteraan bersama.

Ibarat mata pisau, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Penegakan hukum tidak berlaku terhadap semua orang, tapi hanya terhadap golongan tertentu yang memiliki keterbatasan sumber daya dan dana. Persamaan di depan hukum (equality before the law) belum sepenuhnya terwujud. Sebaliknya, ketidaksamaan di depan hukum (un-equality before the law) seakan telah menjadi praktik keseharian kita.

Persidangan-persidangan untuk mengatur mekanisme penegakan keadilan justru dipakai sebagai ajang debat untuk memenangkan kepentingan pribadi ataupun golongannya. Ibarat jauh panggang dari api, hakikat pengadilan untuk penegakan keadilan demi kesejahteraan bersama makin jauh dari kenyataan. Bahwa hukum di Indonesia syarat akan formalitas namun miskin kualitas.

Yang juga menjadi keprihatinan bersama, hukum di negeri ini telah diletakkan sebagai kendaraan untuk menggapai agenda-agenda tertentu. Melalui hukum, mereka yang memiliki wewenang membuat hukum justru menggunakan otoritas yang dimiliki untuk meloloskan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Seringkali wakil rakyat di parlemen selaku pemegang kekuasaan legislatif membuat aturan yang kontroversi. Hingga sebutan anti hukum, kebal hukum, dan anti kritik menggema. Bagaimana mungkin wakil rakyat menjauhkan diri dari rakyatnya. Orang-orang yang terpilih dari suara konstituen malah membatasi kontrol dengan membungkam kritik konstituennya.

Hukum yang katanya dibuat untuk mencapai keadilan, tetapi kepada siapa tujuan itu diarahkan? Bisakah hukum dibuat dan diterapkan tanpa membeda-bedakan? Tak salah bila rakyat beranggapan bahwa aturan di negeri ini hanyalah milik para tuan.

Alam demokrasi Pancasila mensyaratkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Itu menjadi pagar bagi semua pihak untuk menempatkan “seluruh rakyat Indonesia” sebagai subyek pelaku dan subyek penerima keputusan-keputusan yang mendatangkan kesejahteraan bersama.

Dan, sudah menjadi kewajiban baik pihak legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, untuk membangun sistem hukum yang menghadirkan kesejahteraan bersama. Penegakan hukum harus dilaksanakan dalam rangka penegakan keadilan demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Karena, negeri ini bukan hanya milik para tuan.

Penulis: Dr. Pieter Cannys Zulkifli, Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Kota Malang, Jawa Timur

sumber: https://pietercz.id/index.php/2020/10/19/hukum-milik-para-tuan/