KPK GERING

Tikuse padha ngidung, kucing gering kang nunggoni. – Ronggowarsito (1802 – 1973)

SISIBAIK.ID – Dua larik syair tembang Dhandhanggula Karya Ki Ronggawarsito yang tertulis dalam Serat Jayabaya ini menarik untuk direnungkan dalam kondisi saat ini. Terjemahan bebasnya kurang lebih begini: “Para tikus asyik bernyanyi, sementara kucing yang menjaganya sedang sakit.”

Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH, MH.

Gambaran lebih jelas mengenai metafora kucing gering ini pernah dituliskan budayawan Mohamad Sobary. Lewat buku bertajuk Tikuse Pada Ngidung (2018), Kang Sobary tegas menunjuk tikus itu adalah para koruptor. Sedangkan kucing sebagai simbol petugas hukum, penegak hukum, aparatur antikorupsi.

Kang Sobary menulis bahwa para koruptor yang tetembangan, menyanyi jejingkrakan, tak merasa malu, tak pernah merasa hina dina. Mereka selalu berusaha menyerang dan memperlemah lembaga yang mengawasi polah tingkah mereka. Dalam hal ini Komisi pemberantasan Korupsi (KPK)

Tikuse padha ngidung merupakan simbol para pencuri yang berpesta pora. Sementara yang menjaga tikus-tikus itu hanyalah kucing gering, kucing sakit-sakitan, tak berdaya, dan tak pernah berani menerkam si tikus. Metafora itu seakan merujuk pada kondisi nyata KPK yang diserang dari berbagai penjuru untuk melemahkannya.

Di negeri ini, perilaku korup yang dilakukan oleh koruptor seakan-akan tak pernah melemah. Anehnya, justru upaya melemahkan lembaga antikorupsi yang acap kali muncul dan acap kali pula nyaris menang.

Masyarakat tahu betapa kekuasaan telah ditelikung oleh oknum elite, dimanfaatkan sebagai instrumen memperkaya diri. Kolusi dijadikan jembatan emas untuk korupsi. Pada gilirannya negaralah yang terkena getah, dituding sebagai fasilitator korupsi, sebagaimana ditulis Penny Grees dan Tony Ward dalam State Crime: Governments, Violence, and Corruption (2004).

Adanya gejolak yang terjadi setelah pengesahan revisi UU KPK. Juga pro konta yang muncul setelah pelaksanaan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bagi karyawan KPK, keduanya adalah salah satu bentuk bahwa berbagai elemen di luar pemerintahan tak tertidur pulas dan tak bisa begitu saja dikelabui.

Hati nurani tak mungkin dipungkiri. Ada kerja yang sedang mengganggu kepentingan tertentu. Kepentingan paling terganggu dengan adanya KPK adalah kepentingan para koruptor. Kondisi KPK yang sedang sakit ini membuat mereka makin mudah balik menyerang.

Padahal, mengapa harus takut dengan KPK jika semua elite bekerja amanah. Ataukah para oknum elite dan para pengusaha hitam merasa resah karena takut terendus jejak mereka saat berjamaah mencuri uang negara? Hanya orang-orang yang amanah yang tidak pernah gentar dengan KPK.

Sejarah sudah membuktikan kematian lembaga semacam KPK. Sehingga trauma pembunuhan terhadap KPK selalu menghantui hati nurani.

Di tengah bola salju yang menggelinding liar, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan TWK tidak menjadi standar pemberhentian pegawai KPK. Ini merupakan sikap yang tegas untuk menyelesaikan polemik di tubuh lembaga antirasuah. Pernyataan resmi itu ditayangkan di YouTube Sekretariat Presiden, Senin 17 Mei 2021.

Jokowi meminta agar hasil TWK tidak digunakan sebagai alasan pemberhentian pegawai KPK yang masuk dalam kategori Tak Memenuhi Syarat. Ia menyebut hasil TWK masih dapat dibenahi dengan melakukan pendidikan di tingkat lembaga.

Bagaimana KPK harus mendengarkan Jokowi sebagai kepala negara? Jawabnya sederhana: jika selama ini mereka sering mengatakan KPK tak boleh menjadi negara dalam negara, kini saatnya semua organ di tubuh KPK membuktikan apa yang dikatakannya. KPK harus tetap berjalan pada relnya.

Menukil dari sebuah tulisan bermakna dari Robert I. Rotberg dalam bukunya berjudul Corruption, Global Security, and World Order, 2009: You can’t fight from the battom. You have to fight from the top.  Ya, memerangi korupsi tak bisa dilakukan dari bawah, tapi harus dari atas.

Pendapat ini mirip dengan ungkapan yang disampaikan Ki Dalang Manteb Soedharsono, bahwa teladan mesti dari atas. Jika ingin di bawah bagus atasnya juga harus bagus terlebih dahulu.

”Yen banyu saka ndhuwur butheg, tengah diubeg-ubeg, ngisor dadi lintreg-lintreg,” kata Ki Manteb saat menyampaikan narasi pedalangan. Jika di atas kotor, tengah diaduk-aduk, akhirnya di bawah jadi comberan–limbah yang mendatangkan penyakit.

Penulis: Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH, MH., Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Kota Malang

Sumber: https://pietercz.id/index.php/2021/06/16/kpk-gering/

Ilustrasi: Ema/suara.com