Perubahan Iklim dan Nasib Petani Indonesia

Di tengah perubahan iklim yang sedang berlangsung, masih banyak petani di Indonesia yang belum mengetahui bahwa perubahan iklim adalah ancaman sekaligus “musuh baru” bagi mereka.

SISIBAIK.ID – “Orang tua kami dulu mengatakan bahwa jika daun bambu mulai berguguran dan awan muncul di atas Gunung Bésér, itu pertanda awal musim hujan,” ujar Jerri dalam perjalanan menuju ladangnya. Tapi, lanjutnya, itu dulu. Sekarang, hujan bisa turun kapan saja. “Kami tidak bisa lagi bergantung pada pengetahuan itu.”

Iqbal H. Lisan

Di gubuk kecilnya yang terletak di atas bukit yang dikelilingi tanaman hortikultura, Jerri terus berbicara. “Bisakah kamu melihatnya?” Dia menunjuk ke sebuah gunung di barat. “Itulah Gunung Bésér, gunung yang selalu kami jadikan acuan jadwal tanam kami”.

Kata Bésér diambil dari bahasa Sunda yang berarti “sering buang air kecil”. Petani setempat menyamakannya dengan fenomena “hujan berseling” seperti yang biasa terjadi saat musim hujan.

Pengetahuan cuaca seperti itu penting bagi petani di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, untuk memprediksi ketersediaan air demi pertumbuhan tanaman mereka selama masa tanam. Sayangnya, petani lokal seperti Jerri tidak bisa lagi mengandalkan pengetahuan itu karena kondisi musim yang semakin tidak menentu. Kondisi seperti itu dapat menyebabkan gagal panen, keadaan yang ditakuti oleh setiap petani. Dalam fenomena yang membingungkan ini, Jerri tahu ada sesuatu yang berubah, tapi dia tidak tahu persis apa tepatnya.

Bergeser ke 739 km arah utara dari Kabupaten Sumedang, seorang petani juga mengalami permasalahan yang sama. Kardi adalah seorang transmigran di Kabupaten Kubu Raya yang tinggal di dekat area konsesi hutan di Kalimantan Barat. Kardi biasa mengacu pada pengetahuan kosmologinya, Pranata Mangsa, berdasarkan kalender Jawa dalam menentukan jadwal tanam.

Sejak pindah ke Kalimantan, Kardi merasa tidak bisa mengandalkan Pranata Mangsa lagi karena akurasinya yang rendah. Menariknya, Kardi hanya menganggap itu sebagai konsekuensi dari perbedaan lingkungan karena di Jawa ia selalu menanam padi di tanah mineral, sedangkan di Kalimantan ia menanam di lahan gambut. Dia tidak membahas masalah iklim sama sekali. 

Cerita di atas hanyalah dua contoh petani dari dua tempat berbeda. Lantas, bagaimana nasib 33,4 juta petani di seluruh Indonesia sebagaimana data yang dirilis Badan Pusat Statistik tahun 2020? Mirisnya, penelitian menunjukkan bahwa dua kasus petani yang ditemukan mewakili sebagian besar kondisi petani di Indonesia. Di tengah perubahan iklim yang sedang berlangsung, para petani belum mengetahui bahwa perubahan iklim adalah “musuh baru” mereka.

Sebagai negara terpadat keempat di dunia, rumah bagi 270 juta orang, pertanian tentu memainkan peran penting dalam memastikan ketahanan pangan di Indonesia. Pemerintah Indonesia sebenarnya telah memberikan solusi bagi para petani untuk lebih waspada terhadap ancaman perubahan iklim dengan mendirikan Sekolah Lapang Iklim (SLI). SLI didirikan pada tahun 2005 dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang penerapan informasi iklim dalam pengambilan keputusan mereka. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menghargai CFS dan mengakuinya sebagai bentuk layanan iklim yang sejalan dengan the Global Framework for Climate Services (GFCS). Sayangnya, SLI terkesan dijalankan setengah hati oleh pemerintah karena paradigma yang berlaku hanya mengajar selama periode waktu yang terbatas daripada menyediakan situasi belajar bersama dan berkelanjutan. 

Pemerintah tampaknya lebih tertarik meningkatkan produksi pangan dengan pendekatan “keras” seperti pembangunan infrastruktur dan teknologi. Hal itu bukannya tidak baik, tetapi perlu diiringi dengan alih pengetahuan agar petani tidak merasa terasingkan di lahannya sendiri.

Belajar dari Sejarah

Pemerintah pun perlu belajar dari sejarah, setidaknya ketika era Orde Baru di mana “revolusi hijau” telah memperkenalkan pupuk kimia dan rekayasa genetik varietas unggul untuk diimplementasikan. Revolusi hijau memang berhasil menciptakan swasembada pangan untuk pertama kalinya pada tahun 1984. Tetapi sejarah juga membuktikan bahwa keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan kerugian yang diterima. Kerusakan lingkungan yang drastis terus terjadi; hama menjadi lebih resisten; 9.000 varietas padi lokal punah dan diganti dengan varietas unggul baru; serta meningkatnya konflik antar petani akibat kapitalisasi di sektor pertanian. 

Anehnya, pemerintah terkesan enggan belajar dari masa lalu. Di tengah pandemi Covid-19 dan sebagai respon terhadap isu ketahanan pangan, pemerintah justru meluncurkan program “Food Estate” atau program pembukaan lahan untuk sawah baru di lahan gambut seluas 900 ribu hektar. Jika program ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin Revolusi Hijau “jilid kedua” bisa terjadi. 

Berkaca kembali pada dua cerita petani di atas, pemerintah harusnya meninjau kembali kebijakan yang ditentukan. Sudahkah pemerintah berhasil dengan pendekatan infrastruktur dan teknologi? Ataukah yang lebih dibutuhkan oleh petani adalah alih pengetahuan agar bisa lebih tanggap terhadap perubahan iklim?

Satu hal yang perlu diingat oleh pemerintah, banyak petani di Indonesia yang masih tidak memahami “ancaman” apa yang akan mereka hadapi di depan mata akibat perubahan iklim.

Penulis: Iqbal H. Lisan, peserta Green Leaders Indonesia

Foto ilustrasi: tempo.co