Membasmi Racun Demokrasi

Kebebasan berpendapat bagi masyarakat beradab adalah kesadaran dasar untuk menentukan pilihan, pendapat, sikap, ekspresi, secara proporsional dan bertanggung jawab.

SISIBAIK.ID – Natalius Pigai dan rasisme menjadi isu yang kembali ramai. Awal tahun lalu, Pigai dianggap menjadi korban rasisme ketika diolok-olok oleh seorang aktivis media sosial. Kali ini, giliran Pigai yang dianggap rasis karena cuitannya terhadap ‘orang Jawa Tengah’ Jokowi dan Ganjar Pranowo.

Dr. Pieter C. Zulkifli

Cuitan itu diunggah pada Sabtu 2 Oktober 2021 bertepatan dengan pembukaan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua oleh Presiden Jokowi. Bunyi cuitannya begini: ‘’Jangan percaya orang Jawa Tengah Jokowi & Ganjar. Mereka merampok kekayaan kita, mereka bunuh rakyat Papua, injak-injak harga diri bangsa Papua dengan kata-kata rendahan rasis, monyet & sampah. Kami bukan rendahan. Kita lawan ketidakadilan sampai titik darah penghabisan. Saya penentang ketidakadilan’’.

Cuitan tajam itu memantik reaksi keras dari banyak netizen. Ada yang menyebutnya sebagai cuitan rasis hingga bernuansa politis. Walhasil, ada kelompok masyarakat yang melaporkan Pigai ke polisi atas dugaan rasisme dan ujaran kebencian.

Adalah Kelompok Barisan Relawan Nusantara (Bara NuSa) yang menilai cuitan Pigai membahayakan keutuhan negara dan persatuan bangsa. Mereka menganggap cuitan Pigai ibarat racun yang bisa membahayakan orang-orang Papua dan membuat konflik yang tajam antara orang-orang dari Pulau Jawa dengan Papua. Jadi, menurut Bara NuSa, penting bagi Pigai untuk ditindak hukum.

Apa yang disampaikan Pigai soal Papua sesungguhnya tak sepenuhnya salah. Diakui, masih banyak masalah yang belum selesai di Bumi Cendrawasih. Mulai dari masalah keadilan hingga soal kesejahteraan masyarakat Papua yang masih harus ditingkatkan. Itu yang harus kita dengar sebagai bangsa.

Namun, mengingat Pigai bukan hanya aktivis HAM, tapi juga seorang aktivis politik yang punya tujuan-tujuan politis, tak salah bila pernyataannya menjadi multiinterpretasi di mata publik ataupun pakar politik. Tak salah pula bila masyarakat menganggap cuitan Pigai punya motif politik, dinilai mendegradasikan Jokowi dan Ganjar, dan secara tidak langsung menguntungkan Puan Maharani. Sehingga masuk akal pula bila kemudian berhembus tudingan bahwa Pigai telah di-remote oleh partai besutan Megawati Soekarno Putri, yang tak lain adalah ibunda Puan Maharani.

Pigai menepis semua tudingan itu. Ia membantah dirinya bersikap rasis. Pula membantah punya motif politik di balik cuitan itu. Pigai menyatakan bahwa dia melakukannya karena ingin membela rakyat Papua dari ketidakadilan dan diskriminasi.

Kebebasan vs Kebablasan

Beberapa tahun belakangan, terutama sejak demam media sosial menggejala, publik Tanah Air banyak digaduhkan oleh lontaran-lontaran kebencian dan provokasi. Umumnya mereka berdalih tentang demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat, termasuk menyampaikan kritik di muka umum terhadap pemerintah adalah pilar penting dari demokrasi. Diberangusnya kebebasan berpendapat, berpikir, berserikat dan menyampaikan kritik di muka umum akan menyebabkan demokrasi berjalan pincang. Namun demikian, patut diingat bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia merupakan demokrasi Pancasila, bukan demokrasi liberal ala Barat yang mendewakan kebebasan absolut.

Dalam demokrasi Pancasila, kebebasan individu dalam berpendapat, berserikat dan menyampaikan kritik di muka umum dibatasi oleh sejumlah hal. Antara lain, stabilitas dan keamanan nasional, kepentingan publik luas, ideologi bangsa serta etika dan aturan moral yang bersifat kemasyarakatan maupun keagamaan atau ketuhanan. Ini artinya, kebebasan masyarakat dalam berpendapat idealnya dipahami dalam koridor-koridor tersebut.

Koridor-koridor ketahanan nasional, kepentingan publik dan ideologi bangsa itulah yang belakangan ini kerap tidak diindahkan dalam menyampaikan pendapat atau kritik. Demokrasi kita saat ini mengarah pada kebebasan absolut yang mendewakan nalar dan mengesampingkan nurani dan etika. Akibatnya, praktik politik dan demokrasi negeri ini dicemari oleh berbagai narasi yang mengarah pada ujaran kebencian, hasutan, provokasi, adu domba, dan caci maki. Narasi-narasi negatif itu bagaikan racun yang pelan-pelan akan membunuh demokrasi. 

Chantal Mouffe mengistilahkan hal ini sebagai “paradox of democracy” yakni fenomena ketika demokrasi justru melahirkan kebebasan yang mengancam stabilitas sosial dan ketahanan nasional. Dalam konteks Indonesia, paradoks demokrasi itu mewujud pada kian meruncingnya polarisasi di tengah masyarakat akibat afiliasi politik yang berlebihan dan fanatisme buta pada elite politik tertentu.

Paradoks demokrasi menjadi problem serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Fenomena merebaknya kritik berbasis kebencian tidak hanya melemahkan kepercayaan publik pada pemerintah, namun juga secara langsung telah menghadirkan ancaman serius pada ketahanan nasional.

Padahal, bila kita melihat lebih jernih, sesungguhnya tujuan kritik adalah untuk menyampaikan keberatan atau ketidaksetujuan atas sebuah keputusan atau kebijakan yang diambil pemerintah. Tujuan itu mustahil dicapai jika metode penyampaiannya lebih menjurus pada ujaran kebencian, caci maki, cemoohan, hasutan dan adu domba.

Karenanya, penting untuk kita meneguhkan kebebasan berpendapat dalam bingkai demokrasi Pancasila. Dengan mengacu pada prinsip demokrasi Pancasila, niscaya kita bisa menarik garis pembeda yang jelas antara kritik konstruktif dan kritik destruktif, antara kritik beradab dan kritik biadab, serta kritik yang cerdas dengan kritik yang culas.

Mengutip sebuah kata bijak, kebebasan berpendapat bagi masyarakat beradab adalah kesadaran dasar untuk menentukan pilihan, pendapat, sikap, ekspresi, secara proporsional dan bertanggung jawab. Jangan sampai, kritik yang kita lontarkan malah menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. 

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, Pengamat Kebijakan Publik

Foto Ilustrasi: mditack.co.id