Mahalnya Sebuah Idealisme dalam Bernegara

Negeri ini membutuhkan pejabat publik dan politisi idealis yang berkhidmat kepada kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

SISIBAIK.ID – Pemerintahan yang baik harus dibangun dengan integritas para pemimpinnya. Seorang pemimpin yang berintegritas mampu mendapat kepercayaan karena perkataannya bisa dirasakan dan dilihat oleh rakyat melalui tindakan nyata. Karena itulah, seorang pemimpin yang berintegritas harus berlaku jujur dan mencintai keadilan.

Namun, kejujuran dan keadilan seringkali tidak bisa berjalan beriringan dengan kenyataan. Banyak hal-hal di luar nalar yang mengangkangi keadilan dan menisbikan kejujuran ketika roda pemerintahan dijalankan. Kekuasaan tak kasat mata bahkan lebih kuat mencengkeram sendi-sendi kehidupan bernegara dibanding pemerintahan yang sesungguhnya.

Dari sinilah kisah itu bermula. Adalah Sri Mulyani, yang memilih jalan terhormat dengan mundur sebagai Menteri Keuangan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sebelas tahun silam. Kala itu tak banyak yang tahu alasan Bu Ani – demikian Sri Mulyani biasa disapa – memilih mundur kecuali informasi bahwa beliau percaya oleh Bank Dunia untuk memangku sebuah jabatan prestisius sebagai Direktur Pelaksana di lembaga tersebut. Sebuah alasan yang terlalu sederhana untuk sosok idealis sekaliber Sri Mulyani.

Belakangan tersiar video pendek dari akun tiktok @gubukderita01 tentang alasan mendasar mengapa Bu Ani mundur. Dalam tayangan berdurasi 2 menit 16 detik itu terdengar jelas suara Sri Mulyani mengatakan:”Sumbangan saya, atau apapun yang saya putuskan sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam sebuah sistem politik dimana perkawinan kepentingan itu begitu sangat dominan dan nyata. Banyak yang mengatakan itu adalah kartel, saya lebih suka pakai kata ‘kawin’ walaupun jenis kelaminnya sama.”

 “Anda memegang kekuasaan begitu besar, anda bisa, anda mampu, anda bahkan boleh, anda bahkan diharapkan untuk mengabusenya, oleh sekelompok yang sebetulnya menginginkan itu terjadi, agar nyaman dan anda tidak mau.”

Sri Mulyani adalah satu di antara sedikit manusia langka yang dimiliki republik ini. Ketika hampir semua pejabat dan elite mengesankan hidupnya seakan-akan bermartabat, berpura-pura baik tapi sesungguhnya berbalut dusta, Sri Mulyani memilih jalan kesatria.

“Bahwa saya menang, saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun, termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini.”

“Karena definisi saya adalah tiga: selama saya tidak mengkhianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani saya, dan selama saya masih bisa menjaga martabat dan harga diri saya, maka di situ saya menang.”

Sejak bersama Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani tampil begitu sangar di dalam mengelola sistem keuangan di Indonesia. Ini sesuatu hal yang sangat sulit dia lakukan semasa menjadi menkeu di era presiden sebelumnya.

Pragmatis vs Idealis

Di negeri ini tak sedikit orang berilmu tinggi. Banyak orang cerdik pandai. Banyak profesor dan doktor dari beragam bidang keilmuan. Namun sayang, tak semua orang yang berilmu tinggi menunjukkan perilaku yang sejalan dengan tingginya ilmu yang dimiliki. Tak jarang orang berilmu tinggi namun bertingkah dan berlaku tak mencerminkan ketinggian ilmunya. Masih sering terjadi orang berilmu tinggi masih melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kejujuran.

Pun terhadap jalannya sistem demokrasi di negeri ini. Ketika rakyat berharap banyak terhadap cara bernegara yang sudah kita pilih, akhir-akhir ini kita dihadapkan pada tantangan berat. Masalah terbesar justru disebabkan oleh perilaku aktor utamanya, yakni politisi dan para elitenya.

Dalam satu dekade terakhir, terutama sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri dan secara efektif menjalankan tugasnya, puluhan bahkan ratusan pejabat publik penyelenggara negara ditangkap dan dipenjara. Separuh dari mereka adalah para politisi, baik itu kepala daerah, anggota DPR RI, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota, maupun DPD, bahkan menteri yang sedang menjabat.

Demokrasi kita hari ini lebih disesaki panorama uang. Ini seperti berbanding terbalik dengan pemandangan di ruang-ruang sidang parlemen yang sering kosong. Rendahnya produktivitas dan kualitas atas hasil kerja legislasi juga mewarnai demokrasi kita hari ini. Sulit mencari produk-produk politik yang fundamental dan monumental dari khazanah perpolitikan kita.

Sedemikian buruknya wajah perpolitikan kita, sampai-sampai sejumlah jajak pendapat menyimpulkan bahwa DPR dan partai politik adalah dua lembaga yang paling tidak dipercaya rakyat. Seruan agar para anggota dewan mawas diri, bagaikan teriakan di ruang hampa, tak ada yang mendengar alih-alih  peduli. Rakyat seperti kehilangan sosok beridealisme tinggi dan negarawan unggul.

Sudah cukup lama kita tidak mendengar para politisi membentangkan gagasan-gagasan segar dan ide-ide besar nan visioner. Idealisme hebat tak lagi terdengar. Yang tergelar justru bentangan kasus-kasus yang memalukan. Kabar tentang aparat, kepala dinas, bupati, wali kota, gubernur, hingga menteri yang menjadi pesakitan kasus korupsi makin kerap mengisi media.

Bau amis korupsi, oligarkis, dan dikontrol sosok tertentu, tentu amat bertentangan dengan niatan dan esensi demokrasi itu sendiri. Keadaan ini serupa dengan yang dilukiskan Bung Hatta lebih dari enam dekade yang lalu: “Berpolitik tidak lagi diartikan melaksanakan tanggung jawab tentang kebaikan masyarakat, tetapi dipandang sebagai jalan untuk mencari keuntungan dan membagi-bagikan rejeki dan jabatan kepada golongan dan kawan-kawan sendiri”.

Tentu saja keadaan ini tak boleh dibiarkan. Perlu ada koreksi mendasar terhadap sistem perpolitikan di Tanah Air. Perlu upaya kuat dan luar biasa dari para pemimpin partai politik dan elite negeri ini untuk mengembalikan harkat demokrasi kita pada cita-cita luhur para pendiri bangsa dan seluruh rakyat Indonesia. Demi Indonesia Raya yang sesungguhnya.

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, SH, MH., Pengamat Kebijakan Publik

Sumber: pietercz.id

Ilustrasi: kompas.com