Sejarah Wilayah Udara Indonesia yang Dulu Dikuasai Singapura

SisiBaik.ID – Indonesia telah resmi mengambil alih Flight Information Region (FIR) yang berada di wilayah udara Kepulauan Riau dan Natuna. Sebelumnya, FIR Indonesia ini dikuasai oleh Otoritas Navigasi Penerbangan Singapura selama lebih dari  tujuh dasawarsa.

Pengambilalihan telah disepakati melalui penandatanganan kesepakatan penyesuaian FIR oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Transportasi Singapura S. Iswaran yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong pada Selasa, 25 Januari 2022.

Selanjutnya, pengelolaan FIR yang berada di atas Kepulauan Riau dan Natuna akan berada di bawah Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Airnav). 

Membuka catatan sejarah, pengelolaan FIR di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna oleh Pemerintah Singapura berawal pada tahun 1946. Pada saat itu, dalam pertemuan  International Civil Aviation Organization (ICAO) di Dublin, Irlandia, pada Maret 1946, menyatakan bahwa Indonesia masih belum siap mengatur lalu lintas udara di wilayah sektor A, B, dan C.

ICAO menilai bahwa kala itu Indonesia yang sedang merintis penerbangan belum siap secara infrastruktur. Di awal masa kemerdekaan, kondisi fasilitas peralatan maupun tenaga lalu lintas udara Indonesia memang sangat minim sehingga pengelolaan FIR diserahkan kepada Singapura.

ICAO kemudian memberikan mandat kepada Singapura untuk mengelola sektor A dan C yakni wilayah udara di atas 8 kilometer sepanjang Batam dan Singapura.

Oleh karenanya, sejak tahun 1946, sebagian FIR wilayah barat Indonesia berada di bawah pengelolaan FIR Singapura, yakni meliputi Kepulauan Riau, Tanjungpinang, dan Natuna.

FIR yang dikuasai Singapura ini mencakup sekitar 100 nautical miles (1.825 kilometer).

Akibat penguasaan Singapura, seluruh pesawat yang hendak melintas di wilayah tersebut harus melapor ke otoritas Singapura, termasuk pesawat-pesawat milik Indonesia.

Tidak hanya Singapura. Malaysia pun mengelola sektor B yang mencakup kawasan udara di atas Tanjung Pinang dan Karimun yang didasarkan keputusan ICAO tahun 1973. Sementara itu, sektor C berada di wilayah Natuna yang dibagi menjadi dua, yakni Singapura di atas 24.500 kaki dan Malaysia di bawah 24.500 kaki.

Sejak lama, pemerintah Indonesia menempuh berbagai upaya untuk mengambil alih FIR Natuna dari Singapura. Tahun 1990, Indonesia mulai melakukan diplomasi terkait upaya mengambil alih FIR dari Singapura. Meski terkesan alot, pada tahun 2012, terjadi kesepakatan antara Indonesia dan Singapura bahwa FIR wilayah Kepulauan Riau akan dikembalikan ke Indonesia.

Pada tahun 2015, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Perhubungan dan Panglima TNI untuk mempersiapkan diri mengelola FIR sendiri dengan memperbaiki dan mengembangkan infrastruktur untuk mewujudkannya. Presiden Joko Widodo sempat menargetkan FIR akan kembali milik Indonesia pada 2019.

“Arahan Presiden bahwa kami dalam 3-4 tahun ini mempersiapkan peralatan-peralatan dan personel yang lebih baik sehingga ruang udara kita dapat dikelola sendiri oleh Indonesia. Selama ini, itu ditugaskan Singapura untuk mengelolanya,” kata Menteri perhubungan Ignasius Jonan di Istana Kepresidenan, 8 Agustus 2015.

Pada tahun 2019, Indonesia kembali bernegosiasi dengan Singapura dan Malaysia untuk mengambil alih FIR tersebut. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi telah bertemu dengan Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakhrisnan di Jakarta, Selasa 16 Juli 2019 untuk membahas teknis ambil alih FIR Natuna.

Meskipun begitu, Retno menegaskan bahwa upaya pengambilalihan FIR dari Singapura dan Malaysia sama sekali tidak berhubungan dengan kedaulatan negara dan sengketa wilayah. Ia mengatakan hal ini untuk kepentingan pengaturan lalu lintas penerbangan.

Penandatanganan kesepakatan penyesuaian FIR oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri Transportasi Singapura S. Iswaran yang disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong
pada Selasa, 25 Januari 2022.

Barulah pada awal tahun 2022 ini, Indonesia resmi mengambil alih FIR Natuna. Keputusan itu diatur dalam perjanjian yang mempertemukan Jokowi dengan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong dalam agenda Leaders Retreat Indonesia-Singapura di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau pada Selasa 25 Januari 2022.

“Dengan penandatanganan perjanjian FIR maka ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia terutama di perairan sekitar kepulauan Riau dan kepulauan Natuna,” kata Jokowi dikutip melalui siaran langsung YouTube Sekretariat Presiden.

Lebih dekat dengan FIR

Flight Information Region disingkat FIR, secara ringkas bermakna ruang kendali udara.

Dilansir skybrary.aero, EUROCONTROL SASS-C mendefinisikan FIR sebagai area tiga dimensi di mana pesawat berada di bawah kendali satu otoritas tertentu. Setiap FIR dikelola oleh otoritas pengendali yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa layanan lalu lintas udara disediakan untuk pesawat yang terbang melintasinya.

Sehingga Flight Information Region atau FIR adalah suatu ruang udara dengan dimensi yang ditentukan di mana mengurusi layanan informasi dan peringatan penerbangan.

Luas FIR sangat bervariasi. FIR suatu negara memiliki perbedaan luas dengan yang lainnya.

Menurut NATS, layanan lalu lintas udara Inggris, negara yang lebih kecil mungkin memiliki satu FIR di wilayah udara di atasnya dan negara yang lebih besar mungkin memiliki beberapa.

Wilayah udara di atas lautan biasanya dibagi menjadi dua atau lebih FIR dan didelegasikan kepada otoritas pengendali di negara-negara yang berbatasan dengannya.

Bahkan dalam beberapa kasus, FIR dibagi secara vertikal menjadi bagian bawah dan atas. Bagian bawah tetap disebut sebagai FIR, tetapi bagian atas disebut sebagai Wilayah Informasi Atas (atau ‘UIR’).

Lima Poin Penting kesepakatan

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan ada lima poin penting dalam kesepakatan penyesuaian FIR antara pemberintah Indonesia dan Singapura.

Pertama, penyesuaian batas FIR Jakarta yang melingkupi seluruh wilayah teritorial Indonesia sehingga perairan sekitar Kepulauan Riau dan Natuna yang sebelumnya masuk dalam FIR Singapura menjadi bagian dari FIR Jakarta.

Kedua, Indonesia berhak dan bertanggung jawab atas penyediaan jasa penerbangan (PJP) pada wilayah informasi penerbangan yang merupakan FIR Indonesia yang selaras dengan batas-batas laut teritorial.

Terkait hal ini, Budi Karya menjelaskan bahwa Indonesia akan bekerja sama dengan Singapura memberikan PJP (Penyedia Jasa Penerbangan) di sebagian area FIR Indonesia yang berbatasan dengan FIR Singapura.

Indonesia akan memberikan delegasi pelayanan jasa penerbangan pada area tertentu di ketinggian 0-37.000 kaki kepada otoritas penerbangan Singapura. Di area tertentu tersebut, ketinggian 37.000 kaki ke atas tetap dikontrol Indonesia.

“Hal ini agar pengawas lalu lintas udara kedua negara, dapat mencegah fragmentasi dan mengkoordinasikan secara efektif lalu lintas pesawat udara yang akan terbang dari dan menuju Singapura pada ketinggian tertentu tersebut,” kata Budi.

Terkait hal itu, pendelegasian PJP secara terbatas pada area tertentu FIR Jakarta kepada Singapura tentu tidak mengecualikan kewenangan Indonesia untuk melaksanakan aktivitas sipil dan militer sesuai kedaulatan dan hak berdaulat di ruang udara Indonesia. Otoritas penerbangan Indonesia tetap mengoordinasikan penerbangan di seluruh area FIR Jakarta.

Ketiga, selain menyepakati pengelolaan ruang udara untuk penerbangan sipil, Singapura juga menyepakati pembentukan kerangka kerja sama sipil dan militer dalam rangka Manajemen Lalu Lintas Penerbangan (Civil Military Coordination in ATC – CMAC).

Tujuannya untuk memastikan terbukanya jalur komunikasi aktif yang menjamin tidak terjadinya pelanggaran kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.

Untuk itu, pemerintah Indonesia akan menempatkan beberapa orang personel sipil dan militer di Singapore Air Traffic Control Centre (SATCC). Hal itu telah tertuang di dalam perjanjian FIR yang telah ditandatangani.

Selain itu, sebagai bagian dari delegasi PJP terbatas itu, Otoritas Penerbangan Udara Singapura juga berkewajiban mencegah dan menginformasikan kemungkinan pelanggaran wilayah udara oleh pesawat asing kepada otoritas pertahanan udara Indonesia.

Keempat, Singapura berkewajiban menyetorkan kutipan biaya jasa pelayanan penerbangan yang diberikan kepada pesawat yang terbang dari dan menuju Singapura kepada Indonesia.

Pendelegasian PJP itu juga akan diawasi dan dievaluasi secara ketat oleh Kementerian Perhubungan.

Evaluasi terhadap delegasi PJP akan dilakukan terhadap Singapura secara berkala maupun secara melekat dengan penempatan personel Indonesia pada menara pengawas penerbangan udara Singapura.

Kelima, Indonesia juga berhak untuk melakukan evaluasi operasional atas pemberian pelayanan navigasi penerbangan yang dilakukan Singapura guna memastikan kepatuhan terhadap ketentuan ICAO.

Adapun penyesuaian batas FIR Jakarta dan Singapura mutlak dilakukan berdasarkan hukum internasional, terutama Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982).

Kendati demikian, meski sudah sama-sama bersepakat, kedua negara masih harus secara bersama menyampaikan kesepakatan batas FIR ini kepada Organisasi Penerbangan Sipil internasional/ICAO untuk disahkan.