Operasi Bandar Politik Jelang 2024

Hanya akhlak dan etika berpolitik yang tetap berpegang teguh pada Pancasila yang menjadi benteng terakhir untuk menjaga marwah demokrasi agar tak tergadai oleh ‘operasi senyap’ para bandar politik di negeri ini.

SISIBAIK.ID – Rasanya sila pertama Pancasila belum berubah menjadi “Keuangan yang Mahakuasa”. Tapi dalam kenyataannya, terlalu banyak urusan di negeri ini yang diselesaikan dengan uang. Mulai dari perebutan proyek pembangunan, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, bahkan pemilihan Presiden. Kekuasaan uang membuat tumpul akal sehat.

Dr Pieter Cannys Zulkifli
Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH., MH.

Pertarungan finansial (money politics) di dalam kontestasi politik di tanah air telah menjadi rahasia umum. Keberadaan bandar politik menjadi keniscayaan. Sebab, biaya untuk maju menjadi calon bupati, calon gubernur, bahkan calon presiden memerlukan dana besar. Konon, dana ratusan juta hingga ratusan milyar harus disiapkan untuk memuluskan langkah merebut kursi panas.

Pada titik inilah para bandar politik ( baca: kelompok oligarki) datang menawarkan ‘dukungan’. Bahkan ada pengusaha yang konon telah menyiapkan dana triliyunan rupiah untuk kontestasi pemilihan presiden. Tentu saja, tidak ada makan siang yang gratis. Ujung dari partisipasi ini jelas: jatah proyek, hingga jabatan tertentu di pemerintahan.

Berbicara pada tataran ideal, harusnya partai politik mampu berdiri di kaki sendiri, mandiri. Karena, parpol adalah ‘mesin’ pencetak calon pemimpin. Bila mereka tergadaikan, bagaimana bisa menghasilkan pemimpin yang baik dan berintegritas yang akan mengawal negeri menuju kejayaan.

Mereka harus sadar untuk bisa menjaga jarak dengan para bandar politik, alih-alih melayani kepentingan kelompok oligarki yang kerap lengket dengan kalangan elit politik dan pemerintahan. Karena, para bandar politik itulah yang membuat demokrasi yang seharusnya berada di tangan rakyat menjadi tergadaikan. Dengan modus ‘atas nama rakyat’ kelompok bandar politik ini menyisipkan agenda-agenda besar untuk mengeruk cuan sebesar-besarnya bagi kepentingan kelompoknya.

Membaca Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden

Masih terkait soal ‘kepentingan’ kelompok bandar politik, belakangan muncul wacana penundaan Pemilu Serentak 2024 disertai dengan penambahan masa jabatan Presiden semakin santer digaungkan sejumlah pejabat.

Wacana itu dilontarkan oleh dari ketua umum partai politik hingga menteri di Kabinet Indonesia Maju. Sebut saja, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan hingga Menko Marvest Luhut Binsar Pandjaitan yang secara terang-terangan mengklaim melalui analisis big data, sebagian rakyat Indonesia ingin Pemilu 2024 ditunda dan jabatan presiden diperpanjang.

Masalah ekonomi mendasari wacana usulan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut. Dua tahun dihantam badai pandemi Covid-19 membuat perekonomian mandeg. Pemilu dan Pilpres yang yang  ditunda, akan memberi ruang bagi negara untuk ‘bernapas’ menata perekonomian lagi. Terlebih untuk menghelat sebuah pesta demokrasi di negeri berpenduduk lebih dari seperempat milyar jiwa ini butuh biaya besar. Begitu mereka beralasan.

Pertanyaannya, benarkah usulan menunda pemilu dan memperpanjang jabatan presiden semata-mata hanya untuk memberi ruang bagi negara untuk menata kembali perekonomiannya? Tak banyak yang percaya dengan pernyataan yang terkesan mulia, namun penuh dengan ‘sesuatu’ itu. Tak salah pula bila muncul gunjingan publik bahwa usulan perpanjangan masa jabatan presiden tak lebih dari pesanan kelompok oligarki untuk mengamankan cengkeraman bisnis mereka yang telah menyusup ke sendi-sendi pemerintahan dengan berbagai macam wujud. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menolak wacana tiga periode, apa yang ia katakan “menampar muka saya”. Penundaan Pemilu 2024 berimplikasi terhadap perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo dan Wakilnya, Maruf Amin.

Jauh sebelum ini, wacana tiga periode Presiden Jokowi juga mengemuka dan menimbulkan polemik pada November 2019. Dilansir dari Tempo, wacana ini berawal dari seorang anggota DPR dari Partai Nasdem yang menginginkan masa jabatan presiden diperbolehkan 3×5 tahun.

Selain itu, Ketua Fraksi Partai Nasdem, Johnny G. Plate juga mengeluarkan wacana ini. Wacana ini dilancarkan di saat MPR tengah menggodok usulan amandemen UUD 1945.

Namun, tak lama kemudian hal ini dibantah oleh Presiden Jokowi yang menyebut mereka yang menginginkan tiga periode, “Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, yang ketiga ingin menjerumuskan,” katanya, Desember 2019.

Adapun gagasan penundaan pemilu 2024 yang tertangkap media, berawal sejak Januari 2022. Hal ini pertama kali diungkapkan Menteri Investasi, Bahlil Lahaladia.

Ia mengutarakan soal penundaan pemilu 2024 di sela rapat kerja dengan Komisi VI DPR, 31 Januari 2022. Mantan ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini mengutip sebuah survei di mana tingkat kepuasan terhadap Presiden Jokowi mencapai 70 persen, dan menggabungkannya dengan harapan dari para pengusaha.

“Memajukan pemilu dan mengundurkan pemilu di bangsa ini, bukan sesuatu yang haram,” ucapnya sambil mengutip peristiwa percepatan pemilu pada 1999 karena krisis, dan masa orde lama.

Gayung bersambut, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar ikut mengusulkan Pemilu 2024 diundur. Menurutnya, penundaan Pemilu 2024 lebih memberikan kepastian pada pelaku usaha yang tahun ini sedang optimistis dan memiliki kecenderungan positif yang luar biasa. Jangan sampai prospek ekonomi yang baik itu terganggu karena pemilu,” kata Wakil Ketua DPR ini.

Dalam media-media, usulan ini juga disambut positif oleh pimpinan dari Partai Golkar, Airlangga Hartarto, dan Ketua PAN, Zulkifli Hasan.

Pro Kontra

Sejumlah ahli hukum tata negara mengkritik wacana penundaan Pemilu 2024. Pakar Hukum Tata Negara sekaligus Ketua Umum PBB, Prof. Yusril Ihza Mahendra, berpandangan bahwa persoalan penundaan Pemilu yang berimplikasi kepada legalitas dan legitimasi kekuasaan ini tidak bisa diselesaikan dengan usulan-usulan Ketua-Ketua Umum Parpol yang sarat dengan kepentingan politik. Meskipun usul itu kemudian disepakati oleh semua partai yang punya wakil di DPR, DPRD dan MPR, tetapi kesepakatan itu bukanlah kesepakatan lembaga-lembaga negara yang resmi dan legitimate untuk mengambil keputusan menurut UUD 45.

Menurut  Yusril, penundaan Pemilu hanya akan menimbulkan krisis kepercayaan dan politik yang meluas. Keadaan seperti ini harus dicermati betul, karena ini potensial menimbulkan konflik politik yang bisa meluas ke mana-mana. Amendemen UUD 45 menyisakan persoalan besar bagi bangsa kita.

Sejalan dengan pendapat Prof. Yusril, anggota Dewan Pembina dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengatakan Penundaan Pemilu 2024 tak bisa dilakukan berdasarkan “keputusan politik elit”. Untuk mengisi posisi presiden dan wakil presiden selama pemilu ditunda harus diatur dalam Undang Undang Dasar. Artinya diperlukan amandemen konstitusi.

Dalam Undang Undang Dasar masa jabatan presiden dan wakilnya dijelaskan secara gamblang dalam Pasal 7. Intinya, jabatan kepala negara hanya berlaku selama lima tahun, dan hanya bisa dipilih untuk satu kali masa jabatan berikutnya.

Sementara Pasal 22 E UUD 1945 menjelaskan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Konstruksi Undang Undang Dasar, tidak memberi ruang untuk dilakukan penundaan pemilu.

Begitupun diatur dalam Undang Undang No. 7/2017 tentang Pemilu. Tak ada ketentuan mengenai penundaan pemilu, melainkan pemilu lanjutan dan pemilu susulan yang dapat terjadi karena kerusuhan, bencana alam, gangguan keamanan dan gangguan lainnya.

Meskipun ada ruang untuk menunda tahapan melalui UU Pemilu, tapi tidak boleh menerabas Undang Undang Dasar terkait dengan masa jabatan (presiden), dan regularitas penyelenggaraan pemilu.

Iman Politik

Wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sudah membuat masyarakat bergejolak. Yang paling dikhawatirkan adalah isu ini akan memicu penolakan dan perlawanan publik yang bisa diikuti oleh situasi chaos di masyarakat. Pada sisi kekuasaan, penundaan Pemilu 2024 yang berimplikasi pada perpanjangan masa jabatan presiden juga akan memicu penyimpangan kekuasaan atau penyalahgunaan kewenangan.

Di sisi lain, sikap perilaku aparat penegak hukum yang masih saja berpihak kepada pemilik modal, merupakan bentuk penghianatan terhadap amanah konstitusi.

UUD 1945 Pasal 27 ayat 1 mengatur tentang persamaan kedudukan di mata hukum dan pemerintahan serta kewajiban untuk menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.

Berikut bunyi pasal 27 ayat 1: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Prinsip equality before the law dalam pasal 27 ayat 1 ini juga ditegaskan dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tepatnya pada pasal 4 ayat 1. Berdasarkan pasal tersebut, pengadilan mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang.

Sambil menunggu isu ini bergulir, mari kita melihat bagaimana rakyat Indonesia hari ini yang tengah kesulitan menghadapi kelangkaan dan kenaikan harga sejumlah bahan pokok. Mulai dari kelangkaan minyak goreng, naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Gas Elpiji. Ditambah pandemi yang tidak berhenti membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, meningkatnya kriminalitas, bahkan banyaknya anak putus sekolah dan lain-lain.

Dari pada sibuk melemparkan wacana yang tidak terkait dengan Tupoksi jabatan dan keinginan partai yang melulu soal mengejar jabatan, akan lebih elok bila para elite ini fokus bahu-membahu melakukan kerja-kerja nyata menyelesaikan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia kekinian.

Menjadi sebuah ironi ketika masih saja para elite yang berpikiran sempit seolah perpanjangan masa jabatan Presiden lebih penting dari pada menyelamatkan rakyat Indonesia yang jelas-jelas menghadapi tantangan nyata di depan mata.

Akhirnya, hanya akhlak dan etika berpolitik yang tetap berpegang teguh pada Pancasila yang menjadi benteng terakhir untuk menjaga marwah demokrasi agar tak tergadai oleh ‘operasi senyap’ para bandar politik di negeri ini.

Penulis: Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH., MH., Pengamat Kebijakan Publik

Sumber: pietercz.id

Foto Ilustrasi: mediabanten.com