Spirit Kartini dalam Kepemimpinan Puan Maharani

Perempuan Indonesia memiliki karakter yang lebih kuat, mandiri, dan memiliki komitmen untuk memajukan Indonesia.

SISIBAIK.ID – “Wanita Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah-serta-mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Di dalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi wanita yang bahagia, wanita yang Merdeka!”

Itulah paragraf akhir dari buku berjudul “Sarinah, Kewadjiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia” yang ditulis oleh Bung Karno. Buku itu diterbitkan ketika kemerdekaan Republik Indonesia baru menapaki tahun kedua.

Dr Pieter Cannys Zulkifli
Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH., MH.

Meski tidak semonumental karya tulis Sukarno yang lain, seperti Di Bawah Bendera Revolusi, buku Sarinah mampu mengungkap banyak hal yang merupakan pembelaan Sukarno atas posisi perempuan Indonesia, dalam konteks pentingnya para perempuan dilibatkan dalam proses pembangunan sebuah negara.

Kekinian, sejak Republik Indonesia berdiri, ternyata masalah struktur dan kultur masih mendominasi perdebatan tentang kepemimpinan perempuan. Pascareformasi, sesungguhnya kesempatan lebih terbuka bagi perempuan untuk mengekspresikan pandangan politik dan menjalankan peran di ruang publik. Namun sejarah dan data menunjukkan, keterwakilan perempuan di posisi kunci di tiga cabang pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—masih relatif rendah meski terus meningkat.

Di ranah eksekutif, Indonesia hanya pernah dipimpin oleh satu presiden perempuan; Megawati Sukarnoputri, putri presiden pertama RI Sukarno, yang otomatis menjadi presiden setelah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sepakat untuk melengserkan Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, pada 2001. Dus, sepanjang pelaksanaan pemilihan presiden secara langsung sejak 2004, selain Megawati, pemilih belum pernah ditawari kandidat perempuan lain sebagai calon presiden maupun wakil presiden.

Waktu berjalan, pada 2019, sejarah mencatat Puan Maharani menjadi perempuan pertama di Indonesia yang duduk sebagai Ketua DPR. Puan Maharani adalah anak kandung dari Megawati Soekarno Putri, sekaligus cucu dari Bung Karno, sang Proklamator RI.

Kehadiran Puan Maharani sebagai orang nomor satu di DPR cukup memberi warna wajah parlemen. Parlemen kini tidak hanya terlihat tajam dalam fungsi monitoring seperti terkait kelangkaan minyak goreng serta kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), tetapi juga responsif dalam isu-isu keadilan gender. Hal itu menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan di DPR strategis untuk mengimplementasikan nilai-nilai perjuangan Kartini.

Pemimpin Perempuan

Berbicara tentang calon pemimpin perempuan, nama Puan Maharani memang tengah menjadi magnet politik nasional. Ada yang memuji, namun tak kurang juga yang mencibir. Semua gara-gara tahun politik jelang Pilpres 2024.

Publik mungkin penasaran dengan gerak-gerik politik Puan yang terkesan diam. Bahkan saat banyak yang membully-nya, Puan sedikit pun tak bergeming. Dia tidak tampak sebagai politisi ‘Baper.’

Puan memang bukan politisi yang pandai memanggungkan diri. Dia memiliki jati diri dan karakter kuat, apa adanya, sungguh-sungguh bekerja, dan irit bicara. Pun ketika berbicara, sangat terukur. Pernyataan politiknya tidak pernah liar.

Selama tiga tahun memimpin DPR, beberapa legislasi memberi warna keberpihakannya pada perjuangan perempuan. Sebut saja RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang telah 10 tahun mangkrak, pada 12 April 2022. Sedangkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang selama 16 tahun terkatung-katung, mulai dikebut pada masa kepemimpinan Puan. Saat ini RUU PPRT sedang menanti pengesahan.

Kepemimpinan Puan di DPR RI mampu menciptakan stabilitas politik sehingga agenda strategis pemerintah mampu dikawal dengan baik. Tak salah bila banyak pihak menyebut Puan pantas dan layak serta mumpuni menjadi pemimpin nasional masa depan RI.

Sosok Puan Maharani dalam kepemimpinannya di DPR dan sebagai tokoh politik telah menjadi inspirasi bagi siapapun, bahwa bangsa ini, membuka lebar kesempatan perempuan untuk berkarya dan mengejar mimpi, baik dalam konteks mengenyam pendidikan tinggi, meniti karir, hingga kesempatan di ruang politik serta jabatan publik. Inilah substansi dari perjuangan Kartini untuk masa kini, sekaligus jawaban dari kegelisahan Bung Karno saat menuliskan buku Sarinah. Peradaban perempuan Indonesia tidak boleh lagi dipandang sebelah mata. Perempuan Indonesia memiliki karakter yang lebih kuat, mandiri dan memiliki komitmen untuk memajukan Indonesia.

Penulis: Dr. Pieter C. Zulkifli, SH., MH., Pengamat Kebijakan Publik

Sumber: pietercz.id