Ustaz Abu Kahfi, Mendirikan Pesantren Khusus Difabel Rungu

Sisibaik.id – Namanya Abu Kahfi. Dia adalah seorang guru agama dari Yogyakarta. Keprihatinannya terhadap anak-anak difabel rungu yang kesulitan membaca dan menulis Al-Quran mendorongnya untuk mengajarkan mereka membaca Al-Quran dengan bahasa isyarat.

“Memang di sekolah-sekolah diajarkan kurikulum itu, tapi tidak sampai ke mereka sebab bukan menggunakan bahasa isyarat. Terbatas sekali bisa dipahami,” ujar Ustaz Abu.

Singkatnya, Ustaz Abu yang kebetulan sedang menghadiri banyak kegiatan di Yogyakarta dan Semarang mencetuskan ide untuk membuat pondok pesantren bagi anak-anak khusus tunarungu.

Dengan mencari rumah kontrakan yang gunakan sebagai tempat ponpes tersebut, hingga akhirnya ada seorang teman yang meminjamkan rukonya di kawasan Bantul. Belum banyak memang saat itu santri yang tergabung dalam ponpes.

“Saya pakai (ruko itu) hingga enam bulan, dengan sudah ada 15 orang (yang tergabung dalam ponpes itu), dua orang perempuan dan 13 laki-laki,” terangnya.

Disebutkan Ustaz Abu, semakin lama ternyata semakin banyak orang yang mengetahui tentang keberadaan ponpes tersebut. Hingga akhirnya, pada 2019, Abu Kahfi membulatkan tekad membangun pesantren di Dusun Kayen, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.

Nama pesantrennya adalah Pondok Pesantren Rumah Tahfidz Tunarungu Darul A’Shom.

Sesuai dengan namanya, ponpes ini digunakan oleh semua santri tunarungu atau keterbatasan seseorang terkait dengan masalah pendengaran. Di sini, Abu mengajarkan baca Al-Qur’an dengan bahasa isyarat.

Sejak dibuka tiga tahun lalu, Pesantren Darul A’sham kini memiliki 12 staf yang mengajari 115 orang siswa berusia 7-28 tahun. Para santri datang dari berbagai daerah dengan berbagai latar belakang, usia, hingga pemahaman yang berbeda satu sama lain.

“Pondok (pesantren) seperti ini masih jarang, ya bisa dibilang yang pertama dan satu satunya di Indonesia jadi cepat menyebar dan mereka semua memang memerlukan tuh tempat budaya seperti ini untuk tunarungu,” kata Ustadz Abdul, dikutip dari video YouTube ANews.

Ustaz Abu Kahfi berharap, pesantren yang didirikannya akan memudahkan generasi penerus untuk belajar tentang Islam.

“Saat ini, anak tunarungu belum mengenal agama secara mendalam karena mereka tidak pernah mempelajarinya sejak usia sekolah,” kata ulama itu, seraya mencatat betapa minat terhadap sekolahnya telah menyebar dengan cepat.

Di Indonesia, kurikulum di sekolah umum memberikan pengajaran agama terbatas kepada anak-anak berkebutuhan khusus, dimulai pada usia delapan atau sembilan tahun daripada di taman kanak-kanak seperti yang terjadi pada banyak siswa lainnya.

Selain itu, menurut survei yang dilakukan oleh UNICEF, hanya tiga dari 10 anak penyandang disabilitas di Indonesia yang dapat bersekolah.

Siswa tunarungu biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an di sekolah.

“Sekarang saya bisa membaca dan menghafal 30 juz (bagian) Al-Qur’an,” kata Muhammad Farhad, seorang siswa berusia 10 tahun, yang mengaku bahwa ia ingin menjadi ustaz suatu hari nanti agar bisa menularkan ilmunya untuk yang lainnya, dikutip dari video YouTube SCMP.

Indonesia memiliki puluhan ribu pondok pesantren dan sekolah agama lainnya yang seringkali menjadi satu-satunya jalan bagi anak-anak dari keluarga miskin untuk mengenyam pendidikan.

Kemenag Perluas Akses Madrasah Inklusi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 menyebutkan definisi pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dan didirikan oleh perseorangan, yayasan, organisasi masyarakat Islam, dan/atau masyarakat yang menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Penyediaan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus menjadi salah satu prioritas jangka menengah Kementerian Agama (Kemenag). Sebagai bagian dari kewajiban konstitusional menyediakan akses pendidikan Islam yang merata bagi semua pihak, Kemenag akan membuka akses inklusi di madrasah-madrasah yang dikelolanya.

Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Muhammad Ali Ramdhani mengungkapkan, pendidikan harus mengakomodir secara merata kelompok berkebutuhan khusus dengan cara yang setara dan tak boleh didiskriminasi.

“Kami telah menyiapkan Madrasah Inklusif di beberapa wilayah, tinggal diperkuat dan diperluas sebarannya,” ungkapnya, dikutip laman resmi Kemenag.

Pengembangan madrasah inklusi, kata Ali Ramdhani, penting untuk mengakomodir potensi kecerdasan dan bakat istimewa anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama.

Menurutnya, hal itu tidak bisa dilakukan sendiri oleh Kemenag, tetapi harus didukung oleh Pemerintah Daerah (Penda). Maka dari itu pihaknya meminta Pemda tak ragu menyediakan anggaran penyerta untuk pengembangan madrasah inklusif demi membangun generasi bangsa di masa depan.

Pemahaman pendidikan inklusif

Kemenag melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Madrasah telah memberikan pemahaman tentang pendidikan inklusif di kalangan guru madrasah, termasuk tentang cakupan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dengan segala macamnya.

Direktur GTK Madrasah Kemenag, Muhammad Zain mengatakan, saat ini materi penguatan pendidikan inklusif di madrasah sudah masuk dalam Program Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan bagi guru madrasah.

Dalam menjalankan pendidikan Inklusif, guru tak boleh menggunakan pendekatan emosional terhadap siswa ABK. “Prinsipnya mendidik dengan penuh kasih sayang, seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW,” tegasnya.

Di Kemenag, penyediaan pendidikan inklusi telah memiliki payung hukum, yaitu Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 90 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah. Disebutkan, madrasah wajib menyediakan akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus.