Siapa Mafia Hukum sesungguhnya ?

Berjuang tidak harus berisik. Mengejar tidak selalu berlari. Didengar tidak harus menggonggong. Berjuanglah dengan elegan tanpa menjilat dan membuat sensasi, pun dalam pemberantasan mafia hukum.

SISIBAIK.ID – Berbagai kalangan menilai pemberantasan mafia hukum di Indonesia tidak bisa dilakukan hanya dengan pernyataan-pernyataan Kapolri di medsos. Tetapi harus berani memperbaiki kualitas SDM  yang tidak layak menduduki jabatan strategis, mulai dari tingkat Kapolres, Direktur sampai dengan jabatan Kapolda. Sebab masih banyak di antara mereka tidak profesional dalam mengemban amanah Konstitusi.

Dr Pieter Cannys Zulkifli
Dr. Pieter Cannys Zulkifli

Fenomena mafia hukum yang sering terjadi dalam proses penegakkan hukum membuktikan bahwa Indonesia sebagai Negara yang gagal mengemban amanah Konstitusi. Mafia dan kongkalikong dalam dunia hukum serta peradilan telah mengindikasikan  Indonesia bukan lagi Negara “Rechstaat” sebagaimana amanah Konstitusi. Bahkan celakanya, mafia hukum dan mafia peradilan adalah salah satu fenomena Negara gagal (Failed State).

Cita-cita Presiden Soekarno membentuk “Nation and Character Building” tidak terwujud hingga kini. Revolusi Mental ala Jokowi gaungnya hanya sebentar lalu kembali gelap gulita ditutup pembangunan jalan Tol dan bandara penerbangan di berbagai daerah.

Banyak praktisi dan akademisi memberikan pernyataan kritis bahwa  sistem hukum Indonesia sudah bagus namun pelaksanaannya tidak sesuai yang diharapkan masyarakat. Peraturannya sudah ada namun selalu diselewengkan oleh oknum-oknum yang hanya fokus dengan duit.

Buat apa ada peraturan jika aparat penegak hukumnya justru jualan perkara supaya dapat duit lalu mengabaikan kebenaran. Munculnya semua mafia ini karena aparat memberikan ruang kepada mereka untuk mencuri, merampok, merekayasa, memanipulasi, dan sebagainya.

Miris dan sangat menakutkan jika para penegak hukum selalu mengabaikan tugas pokok karena duit. Pengaduan masyarakat (dumas) kepada Kapolri, Menkopolhukam, bahkan Presiden tidak pernah direspon. Masyarakat pun saat ini mulai kehilangan kepercayaan terhadap penegakkan hukum Indonesia.

Penegakan hukum “pandang bulu”

Penegak hukum nampaknya masih “pandang bulu” karena sifat pandang bulu inilah, pengusaha berfikir asalkan punya uang dan koneksi kuat, maka mereka bisa membeli oknum penegak hukum supaya terhindar dari masalah hukum.

Banyak contoh kasus yang menyakiti rasa keadilan. Proses hukum pelaku tragedi kanjuruhan, vonis kasus Bank Bali Joko Candra, konsorsium judi, mafia tambang dan masih banyak kasus-kasus masyarakat di berbagai daerah yang tidak serius ditegakkan sehingga hak hak masyarakat lenyap begitu saja karena tidak punya uang.

Reputasi penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan. Pertemuan jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan terpidana yang menjadi buronan, Djoko S Tjandra adalah bukti bahwa penegak hukum sudah berani menghianati Negara untuk uang.

Bagaimana dengan para oknum petinggi penegak hukum yang masih sering melakukan pertemuan dengan para mafia di negara tetangga? Di mana hati nurani para petinggi penegak hukum yang tanpa rasa takut justru semakin menggila melakukan berbagai penyimpangan dan berani mengabaikan hak dan kebenaran milik masyarakat yang harusnya mendapatkan keadilan serta perlindungan hukum.

Kelihatannya dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo belum bisa mengubah potret penegakkan hukum di Tanah Air.

Kondisi penegakkan hukum (law enforcement) Negara mengalami krisis dan sakit keras. Fenomena ini terjadi karena banyak sekali oknum aparat penegak hukum yang merupakan elemen penting dalam proses penegakkan hukum seringkali terlibat dalam berbagai macam kasus pidana, terutama kasus-kasus yang ada duitnya.

Hukum kehilangan Roh

Implikasi dari kondisi seperti ini adalah hukum semakin kehilangan Rohnya yaitu keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia hanya menjadi Jargon kekuasaan. Penegak hukum sangat keras ke bawah tapi semakin tumpul ke atas. Tidak dalam waktu yang lama Indonesia akan mengalami lumpuhnya penegakkan hukum.

Dr Muzakir SH mengemukakan, perjalanan hukum di Indonesia dari masa ke masa tidak diorientasikan pada upaya mewujudkan keadilan. Hukum cenderung sering digunakan sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan penguasa Negara.

Pada masa kolonialisme hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa Presiden Suharto hukum dijadikan sebagai alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi sampai dengan sekarang hukum justru dijadikan alat kekuasaan (politik).

Begitu juga sikap elit politik yang acuh tak acuh bahkan tanpa memiliki rasa malu dan takut terhadap RUU Perampasan Aset yang sejak tahun 2020 telah diajukan oleh Pemerintah.  Mestinya DPR dan Pemerintah bisa segera menyelesaikannya, tak hanya gaduh dan saling lempar di media massa dan sosial media.

Apakah ada yang akan terganggu dengan RUU ini? Hanya politikus busuk yang takut dengan RUU Perampasan Aset. Karena, UU ini memungkinkan perampasan aset hasil kejahatan, termasuk korupsi, tanpa harus menunggu rangkaian proses peradilan yang lama.

Fakta ini menjadi salah satu faktor penyebab sakitnya penegakkan hukum di Indonesia. Semakin banyak elite politik dan oknum penegak hukum yang lebih mencintai uang dari pada hidup dalam kebenaran.

Ketua umum Parpol memiliki tanggung jawab sangat besar untuk memerangi Korupsi dengan cara mendukung RUU perampasan aset para koruptor. Jika semua Ketua Umum Parpol diam dan justru saling lempar, alih-alih saling menyalahkan, semua pernyataan elite politik di medsos bohong semua. Indonesia Hebat? ***

Penulis: Dr. Pieter Cannys Zulkifli, Ketua Komisi III DPR RI Periode 2013-2014