Warisan Bermakna dari Pulau Penyengat

Barangsiapa tiada memegang agama,

sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.

Barangsiapa mengenal yang empat,

maka ia pasti orang yang ma’rifat.

Barang siapa mengenal diri,

maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri .

Barang siapa mengenal dunia,

tahulah ia barang yang terperdaya.

Barang siapa mengenal akhirat,

tahulah ia dunia mudharat.

Deretan kalimat di atas merupakan ayat Pasal 1 Gurindam Dua Belas karya sastrawan Melayu terkenal, Raja Ali Haji. Gurindam Dua Belas berisi 12 pasal dituliskan Raja Ali Haji di kampung halamannya, Pulau Penyengat di Kepulauan Riau, ketika berusia 38 tahun. Sastrawan Melayu bergelar pahlawan nasional ini merampungkan gurindam karyanya pada 23 Rajab 1264 Hijriah atau tahun 1847.  

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , gurindam merupakan sajak dua baris yang mengandung petuah atau nasihat. Baris pertama gurindam berisikan masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawaban dari masalah dari baris pertama.

Gurindam adalah salah satu produk sastra rakyat dalam bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan sajak (rima) yang sama dan menjadi satu kesatuan yang utuh. Gurindam mendapat pengaruh dari sastra Hindu dan berasal dari bahasa Tamil, yaitu kirindam yang berarti mula-mula amsal, perumpamaan.

Gurindam Dua Belas adalah karya monumental Raja Ali Haji dan melambungkan namanya sebagai sastrawan Melayu terkemuka pada masanya. Menurut Jajat Burhanuddin, sejarawan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Raja Ali Haji adalah sosok sastrawan yang memperkenalkan budaya tulis untuk karya sastra yang ia hasilkan. 

Contohnya, dalam laporan Gurindam Dua Belas , Raja Ali Haji telah dimasukkan tanggal yang ditulis, hingga arti gurindam, perbedaan gurindam dengan syair, serta manfaat gurindam.

Raja Ali Haji juga menulis Syair Sultan Abdul Muluk dan Bustanul Katibin yang berisi risalah tata bahasa Melayu. Ia juga menulis Syair Hukum Nikah , Syair Hukum Fara’id , Syair Gemala Mestika Alam , dan Silsilah Melayu dan Bugis . 

Tak hanya itu, seperti ditulis arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara , Raja Ali Haji bersama sang ayah juga menulis Tuhfat al-Nafis pada tahun 1866. Karyanya ini merupakan sastra sejarah yang mengamanatkan pelaksanaannya ajaran Islam dan adat istiadat Melayu. Gurindam Dua Belas juga berisi nasihat untuk para raja dan tentang tata negara.

Karya lainnya, Kitab Pengetahuan Bahasa , menjadi kamus Bahasa Melayu pertama di Indonesia saat itu. Buku ini kemudian dijadikan baru sebagai Bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.

Mas Kawin Sultan

Pulau Penyengat salah satu pulau di Kepulauan Riau. Luas pulau ini hanya sekitar 1,12 kilometer persegi sehingga bisa berjalan dengan kaki. Kendati mungil, Kesultanan Melayu Riau-Lingga pernah membangun ibu kota di sini. 

Pulau Penyengat masuk dalam administrasi Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Dari dermaga di Kota Tanjungpinang, kita dapat mencapai Pulau Penyengat dengan perahu motor selama 15 menit.

Menurut cerita masyarakat setempat, asal mula pulau ini diambil dari nama serangga bersengat. Serangga-serangga ini pernah menyerang saat diganggu habitatnya oleh pelaut-pelaut karena dianggap melanggar pantangan. Para pelaut kerap tadinya kerap singgah untuk mengambil air bersih ke pulau ini. Sejak peristiwa tersengat itu kemudian mereka menghitung nama Pulau Penyengat.

Cagar budaya terdapat 46 peninggalan budaya terdapat di Pulau Penyengat seperti Masjid Raya Sultan Riau yang setidaknya ada yang direkatkan dengan putih telur, Istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII, perigi atau sumur, dan Benteng Bukit Kursi, serta bekas dermaga kuno. Pulau Penyengat masuk ke dalam daftar Cagar Budaya Nasional pada 2018.

Arkeolog Marsis Sutopo menjelaskan bahwa Kesultanan Melayu di Kepulauan Riau berasal dari Kota Tinggi, Johor di ujung Semenanjung Malaka. Ketika terjadi pertempuran dengan Belanda pada awal abad ke-18, pusat kesultanan pindah ke Kepulauan Riau dengan pusatnya di Hulu Sungai Carang yaitu Pulau Bintan.

Dari sana, Sultan Mahmud Syah III sebagai Sultan memindahkan pusat pemerintahan ke Daik, Pulau Lingga pada 1787. Ketika membangun Daik-Lingga, Sultan Mahmud Syah III juga membangun Pulau Penyengat. Di Pulau Penyengat, Sultan menempatkan Perdana Menteri untuk memegang kendali pemerintahan sementara ia tetap berada di Lingga.

Penyengat juga dijadikan wilayah pertahanan dengan kehadiran Benteng Bukit Kursi yang dibangun Raja Haji Fisabilillah, ayah dari Engku Putri Raja Hamidah yang tak lain adalah permaisuri Sultan. Konon, pulau ini dijadikan mas kawin saat Sultan menikah dengan Engku Putri Raja Hamidah.***

Sumber: Indonesia.go.id