Tarik Ulur RUU Perampasan Aset

Jangan sampai negara paling kaya di dunia ini menjadi melarat, karena koruptor tidak ditindak (KH Abdurrahman Wahid).

SISIBAIK.ID – Pertengahan Desember lalu, Prof. Mahfud MD tampak gusar. Menteri Koordiantor Politik Hukum dan Keamanan ini gusar dengan mandegnya pembahasan RUU Perampasan Aset lantaran DPR tak kunjung memasukkan rancangan beleid tersebut ke dalam daftar Program Legeslasi Prioritas Nasional 2022. Prof. Mahfud pun meminta pengertian DPR mengenai pentingnya RUU Perampasan Aset untuk diprioritaskan.

Mahfud mengatakan, tahun 2021 pemerintah telah mengajukan dua rancangan legislasi terkait pemberantasan korupsi, yakni RUU Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal (PTUK). Tetapi kedua RUU tersebut di DPR pada tahun 2021 tidak menjadi prioritas. Artinya, DPR tidak setuju, demikian Mahfud MD, dikutip dari siaran YouTube Kemenko Polhukam, Selasa 14 Desember 2021.

Dr Pieter Cannys Zulkifli
Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH, MH

Terkait ‘tudingan’ tersebut, DPR angkat bicara. Para anggota dewan yang mulia ini tak ingin menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan terkait molornya RUU yang bakal membuat kelojotan para koruptor dan kaki tangannya.

Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi menjelaskan, Baleg tak bisa menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan atas tersendatnya RUU Perampasan Aset. Sebab, penyusunan UU membutuhkan keterlibatan pemerintah.  Baidowi menyebut, saat rapat penetapan Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) Prioritas 2022, pemerintah tidak mengusulkan RUU Perampasan Aset sebagai prioritas. 

Dikutip dari pemberitaan kompas.com, 10 Desember 2021, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, pada tahun lalu, RUU Perampasan Aset sebenarnya telah diusulkan oleh pemerintah agar masuk prolegnas prioritas. Namun ketika itu Baleg meminta agar RUU tersebut ditunda terlebih dulu.

Menurut Yasonna, penundaan berlanjut hingga penetapan Prolegnas tahun 2022, Senin 13 Desember 2021. Alasannya, pemerintah dan DPR ingin fokus terlebih dulu menyelesaikan Undang-Undang Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Pernyataan ini dipertegas Yasonna di Gedung Sekretariat Jenderal Kemenkumham, Jakarta, Kamis 6 Januari 2022, saatditanya soal tindak lanjut RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang tak kunjung diselesaikan. Dia mengatakan bahwa pemerintah bakal memprioritaskan pembahasan RUU Ibu Kota Negara (RUU IKN). Masih menurut Yasonna, pemerintah juga telah memutuskan untuk kemudian memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) sebagai dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Bagaikan layu sebelum berkembang, keinginan Presiden Jokowi yang meminta agar RUU ini segera diselesaikan, justru pupus oleh agenda-agenda lain. Padahal, dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo mendorong agar RUU Perampasan Aset Tindak Pidana segera ditetapkan sebagai undang-undang.  Bahkan, saat memberikan sambutan dalam Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia di Gedung KPK, Jakarta, Kamis  9 Desember 2021, Jokowi ingin penyusunan RUU tersebut rampung pada tahun 2022.

Tak salah bila komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dipertanyakan. Tak salah pula bila rakyat menganggap isu korupsi di Pemerintahan Jokowi hanya sebatas jargon, tanpa ada tindakan konkret memberantasnya. Sementara dari sisi DPR, melihat rekam jejak parlemen yang selama ini jarang memprioritaskan undang-undang yang memperkuat penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, tak ada harapan RUU ini bakal dirampungkan.

Jalan Panjang RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset sesungguhnya merupakan solusi jitu untuk mengembalikan hak dan kekayaan negara yang dicuri oleh pihak tak bertanggung jawab. RUU Perampasan Aset ini menjadi penting, khususnya terhadap pemberantasan korupsi. Mengingat gap antara kerugian keuangan negara dengan uang pengganti masih sangat tinggi.

Adapun Naskah Akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana sudah rampung disusun Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada Oktober 2012. Draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diajukan pemerintah ke DPR pada 2 Februari 2015.

RUU Perampasan Aset bercokol di urutan 44 dari 189 judul RUU di dalam Prolegnas 2015-2019. Akan tetapi, RUU itu tak sekalipun muncul ke daftar prioritas tahunan. Artinya, dalam lima tahun masa jabatan DPR, RUU itu belum pernah menjadi prioritas untuk segera dibahas.

Pada Prolegnas 2020-2024, RUU Perampasan Aset berada di urutan 138 dari 247 judul RUU. Diusulkan pemerintah pada 17 Desember 2019, tetapi RUU itu sudah tiga kali mental masuk Prolegnas Prioritas 2021.

Teranyar, RUU Perampasan Aset gagal masuk dalam Prolegnas Prioritas 2022. Rapat Paripurna DPR pada 7 Desember 2021 telah menetapkan 40 RUU Prolegnas Prioritas 2022. Rinciannya ialah 26 RUU diusulkan DPR, 12 RUU diusulkan pemerintah, dan 2 RUU diusulkan DPD.

Deskripsi konsep pemerintah tentang RUU Perampasan Aset Tindak Pidana bisa ditemukan di website dpr.go.id. Latar belakang penyusunannya ialah kebutuhan adanya sistem yang memungkinkan dilakukannya penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana secara efektif dan efisien, yang memperhatikan nilai-nilai keadilan dengan tidak melanggar hakhak perorangan.

Di dalam RUU itu dapat ditemukan apa yang dimaksud dengan perampasan aset tindak pidana. Perampasan aset didefi nisikan sebagai ‘upaya paksa yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan tanpa didasarkan pada penghukuman terhadap pelakunya’.

Sementara itu, aset tindak pidana sendiri diartikan ‘setiap aset yang diperoleh atau diduga dari tindak pidana, atau kekayaan tidak wajar yang dipersamakan dengan aset tindak pidana’.

Naskah Akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menyebutkan aset tindak pidana yang dapat dirampas. Pertama, aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana, termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi baik berupa modal, pendapatan, dan keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut.

Kedua, aset yang diduga kuat digunakan atau telah digunakan untuk melakukan tindak pidana. Ketiga, aset lainnya yang sah sebagai pengganti aset tindak pidana. Keempat, aset yang merupakan barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana.

Dalam ketentuan Perampasan Aset Tindak Pidana ini juga diatur mengenai aset yang dimiliki oleh setiap orang yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau yang tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaannya dan tidak dapat membuktikan asal-usul perolehannya secara sah maka aset tersebut dapat dirampas.

Tindakan perampasan aset, menurut Naskah Akademik itu, dilakukan terhadap, pertama, tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya.

Kedua, terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan. Ketiga, aset yang perkara pidananya tidak dapat disidangkan. Keempat, aset yang perkara pidananya telah diputus bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan di kemudian hari ternyata diketahui terdapat aset dari tindak pidana yang belum dinyatakan dirampas.

Senjata Makan Tuan?

Jika membaca secara cermat Naskah Akademik dan draf RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, tidak ada alasan bagi DPR untuk menolaknya. Pula bila melihat mendesaknya kebutuhan beleid ini untuk upaya pemberantasan korupsi, tak ada alasan bagi pemerintah untuk menunda  membahasnya bersama parlemen.

Apalagi, menemukan dan menempatkan koruptor dalam penjara ternyata tidak menimbulkan efek cegah bila tidak disertai dengan upaya untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana. Jika RUU itu terus-menerus ditunda atau bahkan ditolak, sulit untuk menampik adanya anggapan bahwa ia ditolak karena khawatir senjata makan tuan.

Dari perjalanan panjang ini bisa kita lihat, betapa kukuhnya para elite yang bersekongkol dengan koruptor membangun benteng yang sulit ditembus untuk membahas RUU Pemberantasan Aset Tindak Pidana. RUU yang disiapkan sejak 2012 itu selalu mental untuk masuk ke Prolegnas Prioritas.

RUU itu mental karena bisa menjadi bumerang alias senjata makan tuan. Hal itu sekaligus memperlihatkan betapa lemahnya komitmen pembuat undang-undang untuk memperkuat regulasi pemberantasan korupsi. Para elite politik yang bertanggung jawab atas penyusunan, pembahasan, dan pengesahan RUU ini tidak pantas disebut wakil rakyat bila dalam kenyataanya justru melindungi mafia dan koruptor.

Negara harus serius memberantas korupsi untuk membuktikan pada dunia bahwa Indonesia maju. Jika semua elite politik tidak satu hati dengan RUU Pemberantasan Aset Tindak Pidana maka mereka semua adalah bagian dari semua masalah korupsi di Negeri yang kita cintai. Bagaimana Konstitusi bisa dijalankan dengan baik jika para koruptor justru adalah bagian dari kelompok kekuasaan? Negara tidak boleh didikte dan kalah oleh sekelompok elite, Indonesia harus berani jujur.

Di akhir tulisan ini, mari sejenak mengingat pesan mendiang KH Abdurrahman Wahid yang patut dijadikan bahan renungan. Dalam kalimat bijaknya, beliau mengatakan bahwa jangan sampai negara paling kaya di dunia ini menjadi melarat, karena koruptor tidak ditindak.

Penulis: Dr. Pieter Cannys Zulkifli, SH, MH., Pengamat Kebijakan Publik

Suber: pietercz.id

Foto ilustrasi: kompas.com